BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam agama Islam,
Hadis| merupakan rujukan kedua setelah al-Qur’a>n. Hadis| tidak seperti
al-Qur’a>n yang pembukuannya dimulai sejak tanzi>l atau sejak diturunkannya,
hadis| Nabi pada mulanya di larang untuk ditulis karena ditakutkan akan terjadi
percampuran antara al-Qur’a>n dan al-Hadis|. Akan tetapi setelah itu
diperbolehkan untuk ditulis, meskipun hadis| Nabi tidak dibukukan secara resmi
seperti halnya al-Qur’a>n. Seiring berjalannya waktu dan banyaknya futuha>t
maka orang berbondong-bondong masuk Islam. Akan tetapi tidak semua
dari mereka ini murni karena ingin masuk Islam tetapi ada beberapa alasan yang
mendorong mereka untuk memeluk Islam, contohnya karena keadaan yang memaksa
atau karena ingin merusak Islam dari dalam.
Karena kondisi hadis|
yang belum dibukukan secara resmi dan kedudukan hadis| yang begitu tinggi dalam
pandangan Islam maka ini merupakan kesempatan bagi orang-orang yang tidak suka
dengan Islam untuk menghancurkan Islam dari dalam. Maka dibuatlah hadis-hadis maud}u’
yang dinisbatkan kepada Nabi.
Hal inilah yang
mendorong para ‘ulama>’ hadis| waktu itu untuk membuat kaidah-kaidah
pemeriksaan hadis| yang tujuannya adalah untuk mengidentifikasi otentisitas, validitas
dan reliabilitas hadis-hadis Nabi.[1]
Maka kemudian dikenallah ilmu Takhri>j al-Hadis yang merupakan
cabang dari ilmu hadis| secara umum.
Sedangkan Mahmu>d al-T}ahha>n
dalam Darsul S. Puyu, mengemukakan teori latar belakang kemunculan ilmu takhri>j
bahwa pada mulanya ilmu takhri>j al-hadis| tidak dibutuhkan oleh
ulama dan peneliti hadits karena pengetahuan mereka tentang hadis| sangat luas
dan mantap. Lagi pula, hubungan para ulama dengan sumber hadis| aslinya pada
waktu itu sangat dekat dan melekat, sehingga ketika mereka hendak menjelaskan
validitas suatu hadis|, mereka cukup menjelaskan tempat atau sumbernya dalam
berbagai kitab hadis|. Mereka mengetahui cara-cara kitab sumber hadis| itu
ditulis, sehingga dengan potensi dan kemampuan yang dimiliki mereka tidak
mengalami kesulitan untuk menggunakan dan mencari sumber dalam rangka
mengemukakan suatu hadis|.[2]
Beberapa abad
kemudian, para ulama>’ hadis| merasa kesulitan untuk mengetahui hadis| dari
sumber aslinya, terutama setelah berkembang karya-karya besar di bidang
Syari'ah yang banyak menggunakan hadis| sebagai dasar ketetapan hukum, begitu
juga dengan ilmu-ilmu yang lain seperti tafsir, sejarah, dan lainnya. Keadaan
ini menjadi latar belakang timbulnya keinginan para ulama>’ untuk melakukan takhri>j.
Upaya yang mereka lakukan adalah dengan menjelaskan atau menunjukkan hadis|
kepada sumber aslinya, menjelaskan metodenya, dan menentukan kualitas hadis|
sesuai dengan kedudukannya.
B.
Rumusan
Masalah
Dari
uraian tersebut di atas, maka penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana konsep Takhri>j
al-Hadis|?
2.
Bagaimana urgensi dari
kegiatan Takhri>j al-Hadis|?
3.
Bagaiman metode Takhri>j
al-Hadis|?
C.
Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1.
Untuk mengetahui konsep Takhri>j
al-Hadis|.
2.
Untuk mengetahui urgensi dari
kegiatan Takhri>j al-Hadis| tersebut.
3.
Untuk mengetahui metode Takhri>j
al-Hadis|.
|
PEMBAHASAN
A. Konsep Takhri>j al-Hadi>s|
Kata takhri>j
dalam bahasa Arab adalah تخريج berasal dari kata خرج - يخرج – تخريجا yang berarti mengeluarkan, tampak atau jelas.[3]
Kata takhri>j memiliki sinonim dengan beberapa kata,[4] misalnya,الإستنباط yang artinya mengeluarkan[5], التدريب [6] yang
berarti meneliti dan التوجيه [7] yang
berarti menerangkan. Menurut Mahmu>d al-Thahha>n dalam Arifuddin Ahmad, Takhri>j
hadis dalam pengertian etimologi adalah:
إجتماع أمرين متضادين فى شيئ واحد
“Kumpulan dua perkara yang saling berlawanan dalam satu mushaf.”[8]
4
|
اَلتَّخْرِيْجُ هُوَ الدِّلاَلَةُ
عَلَى مَوْضِعِ الْحَدِيْثِ فِى مَصَادِرِهِ الأَصْلِيَّةِ الَّتِيْ أَخْرَجَتْهُ
سَنَدُهُ بِبَيَانِ مَرَتَبَتِهِ عِنْدَالْحَاجَةِ[9].
“Takhri>j adalah penunjukan terhadap tempat hadis di
dalam sumber aslinya yang dijelaskan sanad dan martabatnya sesuai dengan
keperluan”.
1. Mengemukakan hadis| pada orang banyak dengan
menyebutkan para perawinya dalam sanad yang telah menyampaikan hadis| itu
dengan metode periwayatan yang mereka tempuh.
2. Ulama hadis| mengemukakan berbagai hadis| yang
telah dikemukakan oleh para guru hadis|, atau kitab lain yang susunannya
dikemukakan berdasarkan riwayat sendiri, atau para gurunya, atau temannya, atau
orang lain, dengan menerangkan siapa periwayatnya dari para penyusun kitab atau
karya tulis yang dijadikan sumber pengambilan.
3. Menunjukkan asal-usul hadis dan
mengemukakan sumber pengambilannya dari berbagai kitab hadis| yang disusun oleh
para mukharrijnya langsung (yakni para periwayat yang juga sebagai penghimpun
bagi hadis yang mereka riwayatkan),
4. Mengemukakan hadis berdasarkan sumbernya
atau berbagai sumbernya, yakni kitab-kitab hadis|, yang di dalamnya disertakan
metode periwayatannya dan sanadnya masing-masing, serta diterangkan keadaan
para periwayatnya dan kualitas hadis|nya .
5. Menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadis|
pada sumbernya yang asli, yakni kitab yang didalamnya dikemukakan secara
lengkap dengan sanadnya masing-masing, lalu untuk kepentingan penelitian,
dijelaskan kualitas sanad hadis| tersebut. [10]
Apabila
kelima pengertian al-takhri>j di atas diperhatikan, maka pengertian yang
dikemukakan pada butir pertama merupakan salah satu kegiatan yang telah
dilakukan oleh para periwayat hadis| yang menghimpun hadis| ke dalam kitab
hadis| yang mereka susun masing-masing, misalnya Imam al-Bukha>ri> dengan
kitab s}ahi>hnya, Imam Muslim dengan kitab S}ahi>hnya dan
Abu> Daud dengan kitab Sunannya.[11]
Pengertian
takhri>j hadis| yang dikemukakan pada butir ke dua telah dilakukan
oleh banyak ulama>’ hadis|, misalnya oleh Ima>m al-Baihaqi>, yang
telah banyak mengambil hadis| dari kitab al-sunan yang disusun oleh Abu> al-Hasan al-Bas}ri
al-Saffar, lalu Baihaqi> mengemukakan sanadnya sendiri.[12]
Pengertian
takhri>j pada butir ke tiga banyak dijumpai pada kitab-kitab himpunan
hadis|, misalnya Bulugu al-Mara>m karya Ibnu Hajar
al-As|qala>ni>. Dalam melakukan pengutipan hadis| pada karya ilmiah,
mestinya diikuti pengertian al-takhri>j pada butir ke tiga tersebut, dengan
dilengkapi data kitab yang dijadikan sumber. Dengan demikian, hadis| yang dikutip
tidak hanya matannya saja, tetapi minimal juga nama mukharrijnya
dan nama periwayat pertama (sahabat Nabi) yang meriwayatkan hadis yang
bersangkutan.[13]
Pengertian
al-takhri>j yang dikemukakan pada butir ke empat, digunakan oleh
ulama>’ hadis| untuk menjelaskan berbagai hadis| yang termuat di kitab
tertentu, misalnya kitab Ihya Ulu>m al-Di>n karya Ima>m
al-Gazali (w. 505 H/1111M), yang dalam penjelasannya itu dikemukakan sumber
pengambilan tiap-tiap hadis| dalam kualitasnya masing-masing.[14]
Adapun
pengertian al-takhri>j yang digunakan untuk maksud kegiatan
penelitian hadis| lebih lanjut adalah pengertian yang dikemukakan pada butir ke
lima. Dari pengertian tersebut, maka yang dimaksud dengan al-takhi>j hadis|
dalam hal ini adalah penelusuran atau pencarian hadis| pada berbagai kitab
sebagai sumber asli dari hadis| yang bersangkutan, yang di dalam sumber itu
dikemukakan secara lengkap matan dan sanad hadis| yang
bersangkutan.[15]
B.
Urgensi
Kegiatan Takhri>j al-Hadis| dan Manfa’atnya
Kegiatan
takhri>j al-hadis|| sangat urgen bagi seorang peneliti hadis|. Asal
usul riwayat hadis| yang akan diteliti, berbagi riwayat yang telah meriwayatkan
hadis| itu, dan ada tidaknya koraborasi (Syahid atau Mutabi) dalam sanad
bagi hadis| yang ditelitinya hanya dapat diketahui melalui kegiatan takhri>j
hadis[16].
Dengan demikian, minimal ada tiga hal yang menyebabkan pentingnya kegiatan takhrij
al-hadis| dalam melaksanakn penelitian hadis|, yaitu:
1.
Untuk mengetahui asal usul
riwayat hadis| yang akan diteliti
2.
Untuk mengetahui seluruh
riwayat hadis| yang akan diteliti.
3.
Untuk mengetahui ada tidaknya
Syahid dan Mutabi. Syahid adalah dukungan yang terletak pada bagian periwayatan
tingkat pertama, yakni tingkat sahabat Nabi. Mutabi adalah dukungan yang
terdapat di bagian bukan periwayatan tingkat sahabat. [17]
Dari
tujuan takhri>j sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya, maka dalam
kegiatan takhri>j hadis|, tentu memberikan manfa’at yang sangat
besar. Di antara manfa’at hadis| yang paling esensial ada tiga dengan rumusan
sebagai berikut:
1.
Takhri>j
memberikan informasi hadis lengkap sanad dan matannya dari kitab
sumber asli. Dengan demikian takhrij bermanfa’at untuk menambah
perbendaharaan sanad hadis-hadis melalui kitab-kitab yang ditunjukinya.
Semakin banyak kitab sumber yang memuat suatu hadis, semakin banyak pula
perbendaharaan sanad yang dimiliki mutakharrij al-hadis.
2.
Takhri>j dapat
memperjelas keadaan sanad dan matan hadis. Dengan membandingkan
sanad-sanad dan matan-matan hadis, akan bermuara pada penentuan akhir kualitas
hadis.
3.
Takhri>j dapat
memperjelas periwayat hadis yang samar (mubham). Terkadang peneliti menemukan
seorang periwayat yang tidak jelas identitasnya. Memang suatu riwayat sering
ditemukan periwayat tidak disebutkan namanya, melainkan laqab (gelar)
atau kunyah (nama sapaannya saja), misalnya Abi>hi atau ibnu
Fulan dan lain-lain. Terkait dengan ini, takhri>j kemungkinan besar
memberikan informasi identitas periwayat tersebut, terutama namanya secara
lengkap, kredibilitas atau integritas kepribadiannya dalam meriwayatkan hadis|. [18]
C.
Metode Takhri>j al-Hadis|
Penelusuran
hadis (takhrij hadis) kepada sumber aslinya tidak mudah, sebagaimana
penelusuran ayat al-Qur’an. Penelusuran terhadap al-Qur’a>n cukup
menggunakan kamus al-Qur’an, seperti al-Mu’jam mufahras li Alfa>z al-Qur’a>n
al-Kari>m, sedangkan penelusuran terhadap hadis Nabi tidak cukup hanya
menggunakan sebuah kamus, karena hadis Nabi terhimpun dalam banyak kitab dengan
metode penyusunan yang beragam.[19]
Untuk
mengetahui secara jelas sebuah hadis beserta sumber-sumbernya ada beberapa
metode takhrij yang dapat depergunakan oleh mereka yang akan
menelusurinya. Metode-metode ini diupayakan oleh para ulama dengan maksud
mempermudah mencari hadis nabi. Para ulama telah banyak mengkodifikasi
hadis-hadis dengan mengaturnya dalam susunan yang berbeda antara satu dengan
yang lainnya, sekalipun semuanya menyebutkan ahli hadis yang meriwayatkannya.
Perbedaan cara-cara mengumpulkan inilah yang akhirnya menimbulkan ilmu takhrij.
Diantara mereka ada yang menyusunnya sesuai urutan abjad hijaiyyah. Dan
disamping itu ada pula yang menyusunnya sesuai dengan tema hadis, seperti
sholat, zakat, puasa juga ada yang disusun menurut nama-nama perawi terakhir.
Adapula menyusunnya menurut criteria hadis, seperti hadis-hadis qudsi,
hadis-hadis mutawatir, hadis-hadis maudhu’dan lain-lain. Serta
adapula hadis-hadis yang tersusun menurut lafal-lafal yang terdapat dalam matan
hadis.[20]
Dengan
melihat proses mentakhrij yang digunakan oleh para muhadis|in dalam melacak
hadis, ditemukan paling tidak terdapat lima metode takhrij yang dapat kita
gunakan untuk mentakhrij hadis, yaitu :
1.
Takhri>j menurut
awal kata
Takhri>j dengan
menggunakan metode ini disyaratkan harus tahu awal kata dari hadis yang akan
dicari. Jika awal katanya tidak diketahui maka proses pencarian hadis dengan
metode ini tidak mungkin bisa dilakukan. Jika awal kata sudah diketahui, maka
langkah selanjutnya adalah melihat huruf pertama dari kata tersebut, demikian
pula dengan huruf kedua dan ke tiganya. Misalnya hadis yang awal katanya
berbunyi: بني الاسلام على خمسmaka
kita cari hadis itu pada huruf (entri) “ba’”, “nun” dan “ya” (بني) kemudian “alif”, “lam” dan seterusnya seperti saat kita
mencari kosa kata dalam kamus bahasa.
Kelebihan
dan kekurangan metode ini
Kelebihan
metode ini di antaranya, kita dapat melacak hadis dengan cepat jika sudah
diketahui awal katanya. Adapun kekurangannya, jika terjadi perubahan sedikit
saja pada awal kata kita tidak akan mungkin bisa menemukan hadis yang kita
cari. Misalnya kita akan mencari hadis yang berbunyi:
إذا اتا
كم من ترضون دينه زخلقه فزوجوه
Kitab
yang dapat digunakan untuk mentakhrij hadis dengan metode ini antara lain: al-Jami’
al-S}agir min al-Aha>dis| al-Basyi>r al-Naz|i>r, karya Imam Jala>luddin
al-Suyu>t}i>(911 H). sistematika penulisan atau penempatan hadis-hadis
dalam kitab al-Jami’ al-Sagir ini diatur menurut urutan-urutan
huruf-huruf hijaiyah agar mencarinya lebih mudah. Dimulai dengan hadis yang
huruf pertamanya alif, ba’, ta’ dan seterusnya. Kitab tersebut tidak menuliskan
secara lengkap dari keterangan-keterangan tentang kualitas sebuah hadis. Ia
mempersingkatnya dengan lambang-lambang atau kode-kode tertentu. Kode-kode yang
dipergunakannya untuk menunjukkan kualitas hadis adalah صح untuk
s}ahih, حuntuk hasan, dan ض untuk d}aif.[22]
2.
Takhri>j melalui
salah satu kata dalam matan hadis
Takhri>j
dengan
metode ini dapat dilakukan dengan memilih kode kata mana yang akan kita gunakan
sebagai kunci atau alat bantu untuk mencari hadis. Bisa dicari melalui kosa
kata yang berbentuk isim, maupun fi’il dengan berbagai pecahan
tas}rifnya. Adapun pencarian melalui huruf tidak dilakukan. Proses pencariannya
seperti saat kita akan mencari ayat al-Qur’a>n dengan menggunakan kitab al-mu’jam
al-mufahras li alfa>z al-Qur’a>n.
Cara
yang paling popular dalam takhri>j hadis| melalui lafalnya adalah
menggunakan alat bantu berupa mu’jam (kamus hadis) karya A.J. Wensinck,
yang berjudul al-Mu’jam al-Mufahras li Alfa>z al-Hadi>s| al-Nabawi>.[23]
Langkah pertama yang harus dilakukan oleh pencari hadis dalam takhri>j
hadis melalui kitab mu’jam ini adalah harus mengetahui salah satu lafaz
hadis yang hendak dicari. Karena penyusunan kosa katanya menurut sistem
alfabetis maka setiap lafal yang diketahui harus dikuasai dahulu kata dasar
lafal tersebut. Kata dasar ini selanjutnya ditelusuri abjad (hijaiyah) mana
kata tersebut termuat. Setelah ditemukan kata dasar yang dicari barulah
disesuaikan derivasi lafal yang dipakai dalam hadis yang sedang dilacak.
Misalnya, hadis yang akan dicari adalah:
لا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسه
“Tidaklah beriman seseorang kecuali dia mencintai orang lain
sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri”
Hadis
tersebut dapat ditelusuri melalui kitab mu’jam dengan mencari lafal يؤمن dengan mengembalikan pada
kata aslinya yaitu امن atau
lafal يحب dengan mengembalikan pada
kata dasarnya حب . setelah mendapatkan lafal tersebut, kitab mu’jam
memberikan petunjuk tentang di mana letak hadis yang akan mutakharraj pada
kitab-kitab sumber hadis.
Kelebihan
dan kekurangan metode ini
Kelebihannya:
pertama, dengan sebatas mengetahui salah satu kosa kata dalam hadis sudah dapat
kita gunakan untuk mentakhrij. Kedua, terdapat informasi rinci tentang nama
kitab, bab dan nomor hadis.
Kekurangannya,
pertama, proses pencarian akan terasa sulit jika kita tidak dapat menemukan
akar kata dari lafadz yang akan kita cari. Kedua, hadis yang ditampilkan
terkadang tidak sesuai secara persis dengan yang dicari, jika terdapat
pengurangan dan penambahan kata dalam matan.
Kitab
yang digunakan mentakhrij dengan metode ini adalah kitab al-Mu’jam
al-Mufahras li Alfa>z} al-Hadis| an-Nabawi, berisi hadis-hadis dari
Sembilan kitab yang paling terkenal diantara kitab-kitab,yaitu: kutub
as-Sittah, Muwaththa’ Imam Malik, Musnad imam Ahmad, dan Musnad al-Darimi.
Kitab ini disusun oleh seorang orientalis A.J. Wensink (W. 1939), Seorang guru bahasa Arab di
universitas Leiden Belanda dan kemudian diterjemahkan oleh Muhammad Fuad
Abdul-Baqi.[24]
3.
Takhri>j melalui
perawi pertama
Metode
ini digunakan jika kita mengetahui nama perawi pertama yang meriwayatkan hadits
tersebut. Perawi pertama bisa dari kalangan sahabat, jika hadisnya muttashil dan musnad,
bisa juga tabi’in jika hadisnya mursal. Namun jika nama
perawi hadisnya tidak diketahui maka metode ini tidak dapat digunakan untuk
mentakhrij.[25]
Misalnya hadis| riwayat Imam Ahmad:
حَدَّثَنَا
وَكِيعٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدِ بْنِ أَبِي هِنْدٍ عَنْ أَبِيهِ
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ :قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الْفَرَاغُ وَالصِّحَّةُ.[26]
Jika
ditemukan hadis dengan bentuk seperti ini, maka kita dapat melacak
keberadaannya melalui perawi pertama; yang ada dalam hadis di atas adalah Ibn
‘Abba>s. Pencariannya melalui kitab-kitab takhri>j yang disusun
dengan periwayat, seperti kitab-kitab musnad. Saat kita membuka kitab musnad,
misalnya kitab musnad Imam Ahmad bin Hambal akan kita dapatkan kitab tersebut
tersusun hadis-hadisnya sesuai dengan periwayat-periwayatnya. Jadi tiap
periwayat dibawahnya terdapat hadis-hadis yang diriwayatkannya. Tinggal kita
mencari hadis yang dimaksud yang berada di bawah nama sahabat tersebut. Kitab
yang digunakan untuk mentakrij dengan metode ini adalah kitab: musanid (kitab
yang disusun berdasarkan periwayat pertama) seperti musnad Imam Ahmad bin
Hanbal. Kitab al-At}raf: kebanyakan kitab-kitab al-at}raf disusun
berdasarkan musnad-musnad para sahabat dengan urutan nama mereka sesuai susunan
huruf abjad. Jika seorang peneliti mengetahui bagian dari hadis itu, maka dapat
merujuk pada sumber-sumber yang ditunjukkan oleh kitab-kitab al-athraf
tadi untuk mengambil hadis| secara lengkap.
Kelebihan
dan kekurangan metode ini
Kelebihannya,
lebih tepat mendapatkan hadis| yang dicari, karena langsung focus pada hadis|
yang diriwayatkan oleh sahabat yang dimaksud. Adapun kekurangannya, tidak
mungkin menggunakan cara ini jika tidak diketahui perawinya. susunan semacam
ini, terkadang membutuhkan kesabaran saat mencari hadis yang diriwayatkan
banyak hadis, karena harus mencari satu persatu dari sekian banyak hadis
riwayat periwayat yang dimaksud.[27]
4.
Takhri>j melalui
tema pembahasan hadi>s|
Takhri>j dengan
metode ini dituntut kecerdasan dan pengetahuan tentang fiqih hadis. Seorang
pentakhrij diharuskan mampu memetakan hadis yang dicari sesuai dengan tema yang
berkaitan dengan hadis yang dicari. Jika telah dikatahui tema dan objek
pembahasan hadis|, maka bisa dibantu dalam takhrijnya dengan karya-karya hadis|
yang disusun berdasarkan bab-bab dan judul-judul. Cara ini banyak dibantu
dengan menggunakan kitab Miftah Kunuz al-Sunnah yang berisi
daftar isi yang disusun berdasarkan judul-judul pembahasan.[28]
Kitab ini disusun oleh seorang orientalis berkebangsaan Belanda yang bernama Arinjan
Wensink yang juga penyusun dari kitab Mu’jam al-Mufahras. Kitab ini
mencakup daftar isi untuk 14 kitab hadis| yang terkenal, yaitu: al-kutub
at-tis’ah (sebagaimana yang digunakan dalam al-mu’jam
al-Mufahras) ditambah dengan kitab Musnad Abu Dawud al-T}ayalisi, Musnad
Zaid bin Ali, Sirah Ibnu Hisyam, Maghazi al-Waqidi, dan T}abaqat Ibnu
Sa’ad. Dalam menyusun kitab ini, penyusun (Wensink) menghabiskan waktunya
selama 10 tahun. Kitab ini kemudian diterjemahkan ke bahasa Arab dan diedarkan
oleh Muhammad Fuad Abdul-Baqi yang menghabiskan waktu untuk itu selama 4 tahun.[29]
Kelebihan
dan kekurangan metode ini
Kelebihannya,
pertama, metode ini tidak menuntut keharusan awal kata dari hadis sebagaimana
pada metode pertama, tidak juga pengertian tentang tas}ri>f
kosakata sebagaimana pada metode kedua, tidak pula pengetahuan pada periwayat
pertama sebagaimana pada metode ketiga. Cukup dengan mengetahui makna yang
terkandung dalam hadis| sudah dapat menggunakan metode ini. Kedua, metode ini
mengasah kecerdasan siswa atau peneliti saat berusaha memahami makna yang
terkandung dalam hadis| yang hendak dicari. Dengan menggunakan cara ini
berulang-ulang akan memberikan ketajaman dalam memahami fiqh hadis|.
Ketiga, metode ini juga akan memberikan informasi tentang hadis| yang dicari
dan hadis-hadis lain yang sesuai dengan topiknya, yang hal ini akan semakin
membangkitkan motivasi mutakharrij.[30]
Kekurangannya,
pertama, jika makna yang terkandung tidak ditemukan, maka metode ini tidak
dapat dilakukan. Kedua, terkadang makna hadis| yang difahami penyusun berbeda
dengan yang dipahami oleh mutakharrij sehingga hadis| tidak dapat
ditemukan.[31]
5.
Takhri>j melalui
sifat atau jenis hadi>s|
Saat
akan mentakhrij sebuah hadis|, dapat kita gunakan salah satu dari metode-metode
takhri>j di atas. Adapun metode kelima ini memberikan nuansa baru.
Jika dalam hadis| yang akan kita cari nampak sifat yang jelas akan jenis hadis|
tersebut, maka sifat itu tidak dapat digunakan sebagai patokan dalam mencari
hadis|. Para ulama telah mengklarifikasi hadis-hadis Nabi dalam
kelompok-kelompok tertentu sesuai dengan jenisnya. Bagi peneliti tidak akan
kesulitan tatkala hendak melacak hadis| jika sudah ditemukan jenis tersebut.
Misalnya jika sudah diketahui bahwa hadis| yang akan kita cari masuk kategori hadis|
muttawatir, maka kita tinggal malacak di kitab kumpulan hadis-hadis mutawatir.
Jika kategori hadis| maud}u’, maka dicari kitab kumpulan hadis-hadis maud}u’
dan jika hadis| qudsi, maka dilacak di kitab kumpulan hadis| qudsi
dan sedemikian seterusnya. Kitab-kitab yang dapat digunakan dalam metode ini
cukup banyak sesuai dengan sifatnya masing-masing, antara lain: al-Azha>r
al-Mutana>s|irah fi al-Akhba>r al-Mutawa>tirah (berisi
kumpulan hadis-hadis mutawatir) karya Ima>m al-S}uyut}i>, al-It}a>fat
al-S|aniyah fi al-Aha>dis| al-Qudsiyyah (kumpulan hadis-hadis qudsi)
disusun oleh Majlis al-A’la bidang al-Qur’a>n dan Hadis|, Tanzih al-Syari’ah
al-Marfu’ah ‘an al-Akhba>r al-Syani’ah al-Maud}u’ah (kumpulan hadis
maudu’) karya ibn ‘Iraq, dan lain sebagainya.[32]
Kelebihan
dan kekurangan metode ini
Kelebihannya,
metode ini cukup mudah dan simple, karena kitab yang digunakan mentakhrij tidak
banyak hingga melacaknya tidak terlalu sulit. Adapun kekurangannya, lebih
dikarenakan minimnya kitab yang dimaksudkan hingga keleluasaan pelacakannya
terbatas.[33]
Demikianlah
beberapa metode yang dapat ditempuh dalam mentakhrij hadis| dengan
spesifikasinya masing-masing. Satu hal yang patut diingat, bahwa materi takhr>ij
hadis| tidak sebatas memberikan pengetahuan tentang metode-metode takhri>j,
namun juga memberikan keahlian (maharah) dalam mentakhrij.
Agar
materi takhri>j ini memberikan banyak guna dan manfaat, maka
hendaknya saat membaca perlu menghadirkan kitab-kitab yang dimaksud agar dapat
langsung menggunakannya. Praktik mentakhrij juga akan mengenalkan peneliti pada
banyak kitab hadis| di perpustakaan.
Memang,
pelacakan hadis| pada zaman kita sekarang sudah dapat dilakukan dengan
menggunakan program CD yang jauh lebih simple, namun mengenal kitab-kitab turas| karya
para ulama Islam tidak dapat dilakukan melalui CD. Ada sisi positif dan
negatifnya dengan hadirnya program-proramnya CD yang banyak tersebar di banyak
Negara, serta banyak pula kitab turas| yang telah dibentuk
dalam program CD.
D. Aplikasi Metode Takhri>j Hadi>s|
Manusia hidup di dunia ini bergelimang
dalam nikmat yang tak terhingga dan tak terhitung jumlahnya. Nikmat itu
mengiringi perjalanan hidup manusia dan membuat hidupnya bahagia. Oleh karena
itu, sudah menjadi kewajiban manusia untuk bersyukur akan segala nikmat yang
telah diperolehnya, yaitu dengan cara mempergunakannya sesuai dengan tujuan
penciptaannya dalam hal ketaatan dan beribadah kepada Allah swt dan agar
bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Sehingga tidak ada waktunya yang
terbuang percuma tanpa manfaat, dengan begitu dia telah mempergunakan nikmat
yang banyak tersebut yang telah Allah berikan kepadanya.
Manusia mempergunakan setiap nikmat
yang diberikan oleh Allah kepadanya, tetapi terkadang hanya mempergunakan
sebahagian kecil saja dari tujuan diciptakannya nikmat tersebut, karena lupa
atau berpura-pura lupa bahwa Allah nantinya akan membuat perhitungan dengannya
atau menanyakan tentang nikmat yang telah diberikan-Nya tersebut dan dia
pergunakan untuk apa nikmat tersebut. Sudah sewajarnya bahwa yang akan mendapat
kemenangan nantinya di akhirat adalah orang yang mampu memanfaatkan nikmat
tersebut dan mempergunakannya dengan sebaik-baiknya dalam hal ketaatan dan
ibadah kepada Allah, yang mana ia tidak membuang-buang kesempatan yang
diberikan kepadanya di dunia dan ia mempergunakan kesempatan tersebut dengan
sebaik-baiknya untuk memperoleh keridhaan Allah swt.
Hadis| yang akan kita takhrij
adalah hadis| yang berbicara tentang dua kenikmatan dari seluruh nikmat yang
ada, yaitu kesehatan dan waktu luang.
نِعْمَتَانِ
مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
Hadis|
tersebut setelah ditelusuri dalam al-Mu’ja>m al-Mufahras liAlfāz} al-Hadi>s| al-Nabawi> dengan menggunakan lafadz نعمتان, maka hadis| tersebut
terdapat dalam berbagai kitab hadis|, yaitu[34]:
1.
Sahih Bukhari, kitab Riqāq, bab 1.
2.
Sunan al-Tirmidzi, kitab Zuhd, bab 1.
3.
Sunan Ibnu Majah, kitab Zuhd, bab 15.
4.
Musnad Ahmad bin Hanbal, Jilid I, hal. 344.
Hasil
takhrij hadis|| setelah menelusuri literatur yang ditunjuk sebagai
sumber-sumber asli dari hadis| tersebut adalah, sebagai berikut:
1.
Hadis| Riwayat al-Bukhari, dalam buku Sahih
Bukhari, kitab al-Riqāq (81), bab al-Shihhah wa
al-Farāgh wa lā ‘Aysy illā ‘Aysy al-Akhirah (1), no. 6412.
حَدَّثَنَا
الْمَكِّيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ هُوَ
ابْنُ أَبِي هِنْدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
قَالَ قالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِعْمَتَانِ
مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ.[35]
2.
Hadis Riwayat al-Tirmidzi, dalam buku Sunan
al-Tirmidzi, tahqīq Kamāl
Yusuf al-Hūt, kitab al-Zuhd (37), bab al-Shihhah wa
al-Farāgh; Ni’matāni Maghbūn fīhimā katsīr min al-Nās (1), no. 2304.
حَدَّثَنَا
صَالِحُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ وَسُوَيْدُ بْنُ نَصْرٍ قَالَ صَالِحٌ حَدَّثَنَا و
قَالَ سُوَيْدٌ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ سَعِيدِ بْنِ أَبِي هِنْدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ
فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ.[36]
3.
Hadis Riwayat Ibnu Majah, dalam buku Sunan Ibnu
Majah, tahqīq Shidqīy
Jamīl
al-‘Atthār,
kitab al-Zuhd (37), bab al-Hikmah (15), no. 4170.
حَدَّثَنَا
الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْعَظِيمِ الْعَنْبَرِيُّ حَدَّثَنَا صَفْوَانُ بْنُ
عِيسَى عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَعِيدِ بْنِ أَبِي هِنْدٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ
سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ.[37]
4.
Hadis Riwayat Ahmad bin Hanbal, dalam buku
Musnad Ahmad bin Hanbal, bab Musnad ‘Abdillah bin al-‘Abbās
bin ‘Abd al-Mutthalib ‘an al-Nabi saw, no. 3207.
حَدَّثَنَا
وَكِيعٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدِ بْنِ أَبِي هِنْدٍ عَنْ أَبِيهِ
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ :قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الْفَرَاغُ وَالصِّحَّةُ.[38]
|
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada
hakikatnya takhri>j hadis| adalah penelusuran atau
pencarian hadis| pada berbagai kitab hadis| sebagai sumbernya yang asli yang
didalamnya dikemukakan secara lengkap matan dan sanadnya. Penelusuran
dan pencarian hadis| pada sumber aslinya ini memeliki beberapa urgensi yakni;
- Secara metodologis pengutipan hadis pada sumber primer adalah suatu keharusan.
- Syarat untuk penelitian sanad.
- Menghindari kesalahan redaksi.
- Menghindari kesalahan nilai hadis karena membangsakan kualitas hadis secara tidak benar. Seperti menempatkan hadits dhaif kepada hadits shahih atau sebaliknya.
Adapun
metode takhri>j al-hadis| itu sendiri terdiri dari lima macam, yakni
:
1. Takhri>j
melalui awal kata
2. Takhri>j
melalui salah satu kata dalam matan hadis|
21
|
4. Takhri>j
melalui tema pembahasan hadis|
5. Takhri>j
melalui sifat atau jenis hadis|
B. Saran
Di dalam
penulisan makalah ini, penulis sangat menyadari bahwa terdapat banyak
kekurangan yang sempat terselip pada setiap lembaran didalamnya. Untuk itu,
penulis berharap agar para pembaca secara terbuka dapat memberikan masukan dan
kritikan serta-merta sebagai perbaikan dan penyempurnaan makalah ini
kedepannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abī ‘Isā Muhammad bin ‘Isā bin Sawrah, Sunan al-Tirmidzi,
jilid IV (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th).
Abī ‘Abdillah Muhammad bin Yazīd al-Qazwaynīy, Sunan Ibnu Majah, Jilid II (Beirut: Dār al-Fikr, 1995).
Abū
‘Abdillah Ahmad bin Hanbal, al-Musnad li al-Imām Ahmad bin Hanbal,
Jilid I (t.t: Dār al-Fikr, t.th),
Ahmad,
Arifuddin, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, Cet. I; Jakarta:
Renaisan, 2005.
Ilyas,
Abustani dan La Ode Ismail Ahmad, Studi Hadis: Ontologi, Epistomologi, dan
aksiologi, Cet. I; Makassar: Alauddin University Press, 2011.
Al-Imam Abī ‘Abdillah Muhammad bin Ismā’īl al-Bukhārīy al-Ja’fīy, Sahih al-Bukhārīy, jilid VII (Cet. I; Riyadh: Dār ‘Alam al-Kutub,
1996), h. 169-170.
Ismail,
M. Syuhudi, Cara Praktis Mencari Hadis, Cet. II; Jakarta: Bulan Bintang,
1992.
Munawwir,
Ahmad Wirson, al-Munawwir (Kamus Arab-Indonesia), Cet. XIV; Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997.
Puyu,
Darsul S., Metode Takhrij Al-Hadis Menurut Kosa Kata, Tematik, dan CD Hadis,
Cet. I; Makassar: Alauddin University Press, 2012.
Soetari,
Endang, Ilmu Hadis, Cet. II; Bandung: Amal Bakti Press, 199.
M.
Anton Athoillah, Latar Belakang Ilmu Takhrij http://www.knowledge-leader.net/?p=225&cpage=1
Wensinc, et al., al-Mu’jam
al-Mufahras liAlfāzh al-Hadis al-Nabawy,
jilid VI (Leiden: Brill, 1943).
[1]M. Anton Athoillah, Latar Belakang
Ilmu Takhrij http://www.knowledge-leader.net/?p=225&cpage=1
(akses tanggal 20 November 2014).
[2]Darsul S. Puyu, Metode
Takhrij Al-Hadis Menurut Kosa Kata, Tematik, dan CD Hadis, (Cet. I;
Makassar: Alauddin University Press, 2012), h. 41.
[3]Ahmad Wirson Munawwir, al-Munawwir
(Kamus Arab-Indonesia), (Surabaya: Pustaka Progressif, Cet; XIV, 1997), h.
330.
[4]Darsul S. Puyu, Metode
Takhrij Al-Hadis Menurut Kosa Kata, Tematik, dan CD Hadis, (Cet. I;
Makassar: Alauddin University Press, 2012), h. 33.
[5]Ahmad Wirson Munawwir, al-Munawwir,
h. 1379.
[6]Ahmad Wirson Munawwir,
al-Munawwir, h. 394.
[7]Ahmad Wirson Munawwir, al-Munawwir,
h. 1542.
[8]Arifuddin Ahmad, Paradigma
Baru Memahami Hadis Nabi, (Cet. I; Jakarta: Renaisan, 2005.
[9]Endang Soetari, Ilmu Hadis,
(Cet. II; Bandung: Amal Bakti Press, 1997), h. 165.
[10]Abustani Ilyas dan La Ode Ismail
Ahmad, Studi Hadis: Ontologi, Epistomologi, dan aksiologi, (Cet. I;
Makassar: Alauddin University Press, 2011), h. 121-122.
[11]Abustani Ilyas dan La Ode Ismail
Ahmad, Studi Hadis: Ontologi, Epistomologi, dan aksiologi, h. 123.
[12]Abustani Ilyas dan La Ode Ismail
Ahmad, Studi Hadis…., h. 123.
[13]Abustani Ilyas dan La Ode Ismail
Ahmad, Studi Hadis: …, h. 123.
[14]Darsul S. Puyu, Metode
Takhrij Al-Hadis….., h. 36.
[15]Darsul S. Puyu, Metode
Takhrij Al-Hadis..…, h. 36.
[16]Abustani Ilyas dan La Ode Ismail
Ahmad, Studi Hadis: Ontologi, Epistomologi, dan aksiologi, h. 124.
[17]Arifuddin Ahmad, Paradigma
Baru Memahami Hadis Nabi, h. 71.
[18]Darsul S. Puyu, Metode
Takhrij Al-Hadis Menurut Kosa Kata, Tematik, dan CD Hadis, h. 44-45
[19]Arifuddin Ahmad, Paradigma
Baru Memahami Hadis Nabi, h. 72.
[20]Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Studi Hadis (Ontologi,
Epistimologi, dan Aksiologi),119-120.
[21]Abustani Ilyas dan La Ode Ismail
Ahmad, Studi Hadis (Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi), (Cet. I;
Makassar: Alauddin University Press, 2011), h. 129.
[22]Abustani Ilyas dan La Ode Ismail
Ahmad, Studi Hadis (Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi), h. 130-131.
[23]Darsul S Puyu, Metode Takhrij
al-Hadis menurut Kosa Kata, Tematik dan CD Hadis, h. 50.
[24]Abustani Ilyas dan La Ode Ismail
Ahmad, Studi Hadis (Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi), h. 138.
[25]Abustani Ilyas dan La Ode Ismail
Ahmad, Studi Hadis (Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi), h. 139.
[26]Abū ‘Abdillah
Ahmad bin Hanbal, al-Musnad li al-Imām
Ahmad bin Hanbal, Jilid I (t.t: Dār
al-Fikr, t.th), h. 344.
[27]Abustani Ilyas dan La Ode Ismail
Ahmad, Studi Hadis (Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi), h. 139.
[28]Darsul S. Puyu, Metode
Takhrij Al-Hadis…..., h. 59
[29]Darsul S. Puyu, Metode Takhri>j
Al-Hadis……, h. 59.
[30]Abustani Ilyas dan La Ode Ismail
Ahmad, Studi Hadis (Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi), h. 141.
[31]Abustani Ilyas dan La Ode Ismail
Ahmad, Studi Hadis (Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi), h. 141.
[32]Abustani Ilyas dan La Ode Ismail
Ahmad, Studi Hadis (Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi), h. 143.
[33]Abustani Ilyas dan La Ode Ismail
Ahmad, Studi Hadis (Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi), h. 144.
[34]Wensinc,
et al., al-Mu’jam al-Mufahras liAlfāzh al-Hadis al-Nabawy, jilid VI (Leiden: Brill, 1943), h. 494.
[35]Al-Imam Abī ‘Abdillah
Muhammad bin Ismā’īl al-Bukhārīy al-Ja’fīy, Sahih
al-Bukhārīy, jilid VII (Cet. I; Riyadh: Dār ‘Alam al-Kutub, 1996), h. 169-170.
[36]Abī ‘Isā Muhammad bin ‘Isā bin Sawrah, Sunan al-Tirmidzi,
jilid IV (Beirut: Dār al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, t.th), h. 477.
[37]Abī ‘Abdillah
Muhammad bin Yazīd al-Qazwaynīy, Sunan Ibnu Majah, Jilid II
(Beirut: Dār al-Fikr, 1995),
h. 556.
[38]Abū ‘Abdillah
Ahmad bin Hanbal, al-Musnad li al-Imām
Ahmad bin Hanbal, Jilid I (t.t: Dār
al-Fikr, t.th), h. 344.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar