Sabtu, 21 Februari 2015

METODE TAKHRIH HADITS



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Dalam agama Islam, Hadis| merupakan rujukan kedua setelah al-Qur’a>n. Hadis| tidak seperti al-Qur’a>n yang pembukuannya dimulai sejak tanzi>l atau sejak diturunkannya, hadis| Nabi pada mulanya di larang untuk ditulis karena ditakutkan akan terjadi percampuran antara al-Qur’a>n dan al-Hadis|. Akan tetapi  setelah itu diperbolehkan untuk ditulis, meskipun hadis| Nabi tidak dibukukan secara resmi seperti halnya al-Qur’a>n. Seiring berjalannya waktu dan banyaknya futuha>t maka orang berbondong-bondong masuk Islam. Akan tetapi tidak semua dari mereka ini murni karena ingin masuk Islam tetapi ada beberapa alasan yang mendorong mereka untuk memeluk Islam, contohnya karena keadaan yang memaksa atau karena ingin merusak Islam dari dalam.
Karena kondisi hadis| yang belum dibukukan secara resmi dan kedudukan hadis| yang begitu tinggi dalam pandangan Islam maka ini merupakan kesempatan bagi orang-orang yang tidak suka dengan Islam untuk menghancurkan Islam dari dalam. Maka dibuatlah hadis-hadis maud}u’ yang dinisbatkan kepada Nabi.
Hal inilah yang mendorong para ‘ulama>’ hadis| waktu itu untuk membuat kaidah-kaidah pemeriksaan hadis| yang tujuannya adalah untuk mengidentifikasi otentisitas, validitas dan reliabilitas hadis-hadis Nabi.[1] Maka kemudian dikenallah ilmu Takhri>j al-Hadis  yang merupakan cabang dari ilmu hadis| secara umum.
Sedangkan Mahmu>d al-T}ahha>n dalam Darsul S. Puyu, mengemukakan teori latar belakang kemunculan ilmu takhri>j bahwa pada mulanya ilmu takhri>j al-hadis| tidak dibutuhkan oleh ulama dan peneliti hadits karena pengetahuan mereka tentang hadis| sangat luas dan mantap. Lagi pula, hubungan para ulama dengan sumber hadis| aslinya pada waktu itu sangat dekat dan melekat, sehingga ketika mereka hendak menjelaskan validitas suatu hadis|, mereka cukup menjelaskan tempat atau sumbernya dalam berbagai kitab hadis|. Mereka mengetahui cara-cara kitab sumber hadis| itu ditulis, sehingga dengan potensi dan kemampuan yang dimiliki mereka tidak mengalami kesulitan untuk menggunakan dan mencari sumber dalam rangka mengemukakan suatu hadis|.[2]
Beberapa abad kemudian, para ulama>’ hadis| merasa kesulitan untuk mengetahui hadis| dari sumber aslinya, terutama setelah berkembang karya-karya besar di bidang Syari'ah yang banyak menggunakan hadis| sebagai dasar ketetapan hukum, begitu juga dengan ilmu-ilmu yang lain seperti tafsir, sejarah, dan lainnya. Keadaan ini menjadi latar belakang timbulnya keinginan para ulama>’ untuk melakukan takhri>j. Upaya yang mereka lakukan adalah dengan menjelaskan atau menunjukkan hadis| kepada sumber aslinya, menjelaskan metodenya, dan menentukan kualitas hadis| sesuai dengan kedudukannya. 

B.   Rumusan Masalah
Dari uraian tersebut di atas, maka penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana konsep Takhri>j al-Hadis|?
2.      Bagaimana urgensi dari kegiatan Takhri>j al-Hadis|?
3.      Bagaiman metode Takhri>j al-Hadis|?

C.   Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1.      Untuk mengetahui konsep Takhri>j al-Hadis|.
2.      Untuk mengetahui urgensi dari kegiatan Takhri>j al-Hadis| tersebut.
3.      Untuk mengetahui metode Takhri>j al-Hadis|.






BAB II
PEMBAHASAN

A.  Konsep Takhri>j al-Hadi>s|
Kata takhri>j dalam bahasa Arab adalah تخريج  berasal dari kata خرج - يخرج – تخريجا yang berarti mengeluarkan, tampak atau jelas.[3] Kata takhri>j memiliki sinonim dengan beberapa kata,[4] misalnya,الإستنباط  yang artinya mengeluarkan[5], التدريب [6] yang berarti meneliti dan التوجيه [7] yang berarti menerangkan. Menurut Mahmu>d al-Thahha>n dalam Arifuddin Ahmad, Takhri>j hadis dalam pengertian etimologi adalah:
إجتماع أمرين متضادين فى شيئ واحد
“Kumpulan dua perkara yang saling berlawanan dalam satu mushaf.”[8]
4
Mahmu>d T}ahha>n dalam Ilmu Hadis| mengemukakan bahwa takhri>j menurut istilah adalah,
اَلتَّخْرِيْجُ هُوَ الدِّلاَلَةُ عَلَى مَوْضِعِ الْحَدِيْثِ فِى مَصَادِرِهِ الأَصْلِيَّةِ الَّتِيْ أَخْرَجَتْهُ سَنَدُهُ بِبَيَانِ مَرَتَبَتِهِ عِنْدَالْحَاجَةِ[9].
Takhri>j adalah penunjukan terhadap tempat hadis di dalam sumber aslinya yang dijelaskan sanad dan martabatnya sesuai dengan keperluan”.

Para muhaddisi>n mengartikan takhri>j hadis| sebagai berikut:
1.  Mengemukakan hadis| pada orang banyak dengan menyebutkan para perawinya dalam sanad yang telah menyampaikan hadis| itu dengan metode periwayatan yang mereka tempuh.
2. Ulama hadis| mengemukakan berbagai hadis| yang telah dikemukakan oleh para guru hadis|, atau kitab lain yang susunannya dikemukakan berdasarkan riwayat sendiri, atau para gurunya, atau temannya, atau orang lain, dengan menerangkan siapa periwayatnya dari para penyusun kitab atau karya tulis yang dijadikan sumber pengambilan.
3.  Menunjukkan asal-usul hadis dan mengemukakan sumber pengambilannya dari berbagai kitab hadis| yang disusun oleh para mukharrijnya langsung (yakni para periwayat yang juga sebagai penghimpun bagi hadis yang mereka riwayatkan), 
4.     Mengemukakan hadis berdasarkan sumbernya atau berbagai sumbernya, yakni kitab-kitab hadis|, yang di dalamnya disertakan metode periwayatannya dan sanadnya masing-masing, serta diterangkan keadaan para periwayatnya dan kualitas hadis|nya .
5. Menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadis| pada sumbernya yang asli, yakni kitab yang didalamnya dikemukakan secara lengkap dengan sanadnya masing-masing, lalu untuk kepentingan penelitian, dijelaskan kualitas sanad hadis| tersebut. [10]
Apabila kelima pengertian al-takhri>j di atas diperhatikan, maka pengertian yang dikemukakan pada butir pertama merupakan salah satu kegiatan yang telah dilakukan oleh para periwayat hadis| yang menghimpun hadis| ke dalam kitab hadis| yang mereka susun masing-masing, misalnya Imam al-Bukha>ri> dengan kitab s}ahi>hnya, Imam Muslim dengan kitab S}ahi>hnya dan Abu> Daud dengan kitab Sunannya.[11]
Pengertian takhri>j hadis| yang dikemukakan pada butir ke dua telah dilakukan oleh banyak ulama>’ hadis|, misalnya oleh Ima>m al-Baihaqi>, yang telah banyak mengambil hadis| dari kitab al-sunan  yang disusun oleh Abu> al-Hasan al-Bas}ri al-Saffar, lalu Baihaqi> mengemukakan sanadnya sendiri.[12]
Pengertian takhri>j pada butir ke tiga banyak dijumpai pada kitab-kitab himpunan hadis|, misalnya Bulugu al-Mara>m karya Ibnu Hajar al-As|qala>ni>. Dalam melakukan pengutipan hadis| pada karya ilmiah, mestinya diikuti pengertian al-takhri>j  pada butir ke tiga tersebut, dengan dilengkapi data kitab yang dijadikan sumber. Dengan demikian, hadis| yang dikutip tidak hanya matannya saja, tetapi minimal juga nama mukharrijnya dan nama periwayat pertama (sahabat Nabi) yang meriwayatkan hadis yang bersangkutan.[13]
Pengertian al-takhri>j yang dikemukakan pada butir ke empat, digunakan oleh ulama>’ hadis| untuk menjelaskan berbagai hadis| yang termuat di kitab tertentu, misalnya kitab Ihya Ulu>m al-Di>n karya Ima>m al-Gazali (w. 505 H/1111M), yang dalam penjelasannya itu dikemukakan sumber pengambilan tiap-tiap hadis| dalam kualitasnya masing-masing.[14]
Adapun pengertian al-takhri>j yang digunakan untuk maksud kegiatan penelitian hadis| lebih lanjut adalah pengertian yang dikemukakan pada butir ke lima. Dari pengertian tersebut, maka yang dimaksud dengan al-takhi>j hadis| dalam hal ini adalah penelusuran atau pencarian hadis| pada berbagai kitab sebagai sumber asli dari hadis| yang bersangkutan, yang di dalam sumber itu dikemukakan secara lengkap matan dan sanad hadis| yang bersangkutan.[15]

B.   Urgensi Kegiatan Takhri>j al-Hadis| dan Manfa’atnya
Kegiatan takhri>j al-hadis|| sangat urgen bagi seorang peneliti hadis|. Asal usul riwayat hadis| yang akan diteliti, berbagi riwayat yang telah meriwayatkan hadis| itu, dan ada tidaknya koraborasi (Syahid atau Mutabi) dalam sanad bagi hadis| yang ditelitinya hanya dapat diketahui melalui kegiatan takhri>j hadis[16]. Dengan demikian, minimal ada tiga hal yang menyebabkan pentingnya kegiatan takhrij al-hadis| dalam melaksanakn penelitian hadis|, yaitu:
1.      Untuk mengetahui asal usul riwayat hadis| yang akan diteliti 
2.      Untuk mengetahui seluruh riwayat hadis| yang akan diteliti.
3.      Untuk mengetahui ada tidaknya Syahid dan Mutabi. Syahid adalah dukungan yang terletak pada bagian periwayatan tingkat pertama, yakni tingkat sahabat Nabi. Mutabi adalah dukungan yang terdapat di bagian bukan periwayatan tingkat sahabat. [17]
Dari tujuan takhri>j sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya, maka dalam kegiatan takhri>j hadis|, tentu memberikan manfa’at yang sangat besar. Di antara manfa’at hadis| yang paling esensial ada tiga dengan rumusan sebagai berikut:
1.      Takhri>j memberikan informasi hadis lengkap sanad dan matannya dari kitab sumber asli. Dengan demikian takhrij bermanfa’at untuk menambah perbendaharaan sanad hadis-hadis melalui kitab-kitab yang ditunjukinya. Semakin banyak kitab sumber yang memuat suatu hadis, semakin banyak pula perbendaharaan sanad yang dimiliki mutakharrij al-hadis.
2.      Takhri>j dapat memperjelas keadaan sanad dan matan hadis. Dengan membandingkan sanad-sanad dan matan-matan hadis, akan bermuara pada penentuan akhir kualitas hadis.
3.      Takhri>j dapat memperjelas periwayat hadis yang samar (mubham). Terkadang peneliti menemukan seorang periwayat yang tidak jelas identitasnya. Memang suatu riwayat sering ditemukan periwayat tidak disebutkan namanya, melainkan laqab (gelar) atau kunyah (nama sapaannya saja), misalnya Abi>hi atau ibnu Fulan dan lain-lain. Terkait dengan ini, takhri>j kemungkinan besar memberikan informasi identitas periwayat tersebut, terutama namanya secara lengkap, kredibilitas atau integritas kepribadiannya dalam meriwayatkan hadis|. [18]

C.    Metode Takhri>j al-Hadis|
            Penelusuran hadis (takhrij hadis) kepada sumber aslinya tidak mudah, sebagaimana penelusuran ayat al-Qur’an. Penelusuran terhadap al-Qur’a>n cukup menggunakan kamus al-Qur’an, seperti al-Mu’jam mufahras li Alfa>z al-Qur’a>n al-Kari>m, sedangkan penelusuran terhadap hadis Nabi tidak cukup hanya menggunakan sebuah kamus, karena hadis Nabi terhimpun dalam banyak kitab dengan metode penyusunan yang beragam.[19]
Untuk mengetahui secara jelas sebuah hadis beserta sumber-sumbernya ada beberapa metode takhrij yang dapat depergunakan oleh mereka yang akan menelusurinya. Metode-metode ini diupayakan oleh para ulama dengan maksud mempermudah mencari hadis nabi. Para ulama telah banyak mengkodifikasi hadis-hadis dengan mengaturnya dalam susunan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, sekalipun semuanya menyebutkan ahli hadis yang meriwayatkannya. Perbedaan cara-cara mengumpulkan inilah yang akhirnya menimbulkan ilmu takhrij. Diantara mereka ada yang menyusunnya sesuai urutan abjad hijaiyyah. Dan disamping itu ada pula yang menyusunnya sesuai dengan tema hadis, seperti sholat, zakat, puasa juga ada yang disusun menurut nama-nama perawi terakhir. Adapula menyusunnya menurut criteria hadis, seperti hadis-hadis qudsi, hadis-hadis mutawatir, hadis-hadis maudhu’dan lain-lain. Serta adapula hadis-hadis yang tersusun menurut lafal-lafal yang terdapat dalam matan hadis.[20]
Dengan melihat proses mentakhrij yang digunakan oleh para muhadis|in dalam melacak hadis, ditemukan paling tidak terdapat lima metode takhrij yang dapat kita gunakan untuk mentakhrij hadis, yaitu :
1.    Takhri>j menurut awal kata
Takhri>j dengan menggunakan metode ini disyaratkan harus tahu awal kata dari hadis yang akan dicari. Jika awal katanya tidak diketahui maka proses pencarian hadis dengan metode ini tidak mungkin bisa dilakukan. Jika awal kata sudah diketahui, maka langkah selanjutnya adalah melihat huruf pertama dari kata tersebut, demikian pula dengan huruf kedua dan ke tiganya. Misalnya hadis yang awal katanya berbunyi:   بني الاسلام على خمسmaka kita cari hadis itu pada huruf (entri) “ba’”, “nun” dan “ya” (بني) kemudian “alif”, “lam” dan seterusnya seperti saat kita mencari kosa kata dalam kamus bahasa.
Kelebihan dan kekurangan metode ini
Kelebihan metode ini di antaranya, kita dapat melacak hadis dengan cepat jika sudah diketahui awal katanya. Adapun kekurangannya, jika terjadi perubahan sedikit saja pada awal kata kita tidak akan mungkin bisa menemukan hadis yang kita cari. Misalnya kita akan mencari hadis yang berbunyi:
إذا اتا كم من ترضون دينه زخلقه فزوجوه
tapi yang kita ingat لو جاءكم Maka hadis tersebut tidak akan ditemukan.[21]
Kitab yang dapat digunakan untuk mentakhrij hadis dengan metode ini antara lain: al-Jami’ al-S}agir min al-Aha>dis| al-Basyi>r al-Naz|i>r, karya Imam Jala>luddin al-Suyu>t}i>(911 H). sistematika penulisan atau penempatan hadis-hadis dalam kitab al-Jami’ al-Sagir ini diatur menurut urutan-urutan huruf-huruf hijaiyah agar mencarinya lebih mudah. Dimulai dengan hadis yang huruf pertamanya alif, ba’, ta’ dan seterusnya. Kitab tersebut tidak menuliskan secara lengkap dari keterangan-keterangan tentang kualitas sebuah hadis. Ia mempersingkatnya dengan lambang-lambang atau kode-kode tertentu. Kode-kode yang dipergunakannya untuk menunjukkan kualitas hadis adalah صح  untuk s}ahih, حuntuk hasan, dan ض untuk d}aif.[22]
2.    Takhri>j melalui salah satu kata dalam matan hadis 
Takhri>j dengan metode ini dapat dilakukan dengan memilih kode kata mana yang akan kita gunakan sebagai kunci atau alat bantu untuk mencari hadis. Bisa dicari melalui kosa kata yang berbentuk isim, maupun fi’il dengan berbagai pecahan tas}rifnya. Adapun pencarian melalui huruf tidak dilakukan. Proses pencariannya seperti saat kita akan mencari ayat al-Qur’a>n dengan menggunakan kitab al-mu’jam al-mufahras li alfa>z al-Qur’a>n.
Cara yang paling popular dalam takhri>j hadis| melalui lafalnya adalah menggunakan alat bantu berupa mu’jam (kamus hadis) karya A.J. Wensinck, yang berjudul al-Mu’jam al-Mufahras li Alfa>z al-Hadi>s| al-Nabawi>.[23] Langkah pertama yang harus dilakukan oleh pencari hadis dalam takhri>j hadis melalui kitab mu’jam ini adalah harus mengetahui salah satu lafaz hadis yang hendak dicari. Karena penyusunan kosa katanya menurut sistem alfabetis maka setiap lafal yang diketahui harus dikuasai dahulu kata dasar lafal tersebut. Kata dasar ini selanjutnya ditelusuri abjad (hijaiyah) mana kata tersebut termuat. Setelah ditemukan kata dasar yang dicari barulah disesuaikan derivasi lafal yang dipakai dalam hadis yang sedang dilacak. Misalnya, hadis yang akan dicari adalah:
لا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسه
“Tidaklah beriman seseorang kecuali dia mencintai orang lain sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri”
Hadis tersebut dapat ditelusuri melalui kitab mu’jam dengan mencari lafal  يؤمن  dengan mengembalikan pada kata aslinya yaitu امن atau lafal يحب  dengan mengembalikan pada kata dasarnya حب . setelah mendapatkan lafal tersebut, kitab mu’jam memberikan petunjuk tentang di mana letak hadis yang akan mutakharraj pada kitab-kitab sumber hadis.


Kelebihan dan kekurangan metode ini
Kelebihannya: pertama, dengan sebatas mengetahui salah satu kosa kata dalam hadis sudah dapat kita gunakan untuk mentakhrij. Kedua, terdapat informasi rinci tentang nama kitab, bab dan nomor hadis.
Kekurangannya, pertama, proses pencarian akan terasa sulit jika kita tidak dapat menemukan akar kata dari lafadz yang akan kita cari. Kedua, hadis yang ditampilkan terkadang tidak sesuai secara persis dengan yang dicari, jika terdapat pengurangan dan penambahan kata dalam matan.
Kitab yang digunakan mentakhrij dengan metode ini adalah kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfa>z} al-Hadis| an-Nabawi, berisi hadis-hadis dari Sembilan kitab yang paling terkenal diantara kitab-kitab,yaitu: kutub as-Sittah, Muwaththa’ Imam Malik, Musnad imam Ahmad, dan Musnad al-Darimi. Kitab ini disusun oleh seorang orientalis A.J. Wensink  (W. 1939), Seorang guru bahasa Arab di universitas Leiden Belanda dan kemudian diterjemahkan oleh Muhammad Fuad Abdul-Baqi.[24]
3.    Takhri>j melalui perawi pertama 
Metode ini digunakan jika kita mengetahui nama perawi pertama yang meriwayatkan hadits tersebut. Perawi pertama bisa dari kalangan sahabat, jika hadisnya muttashil dan musnad, bisa juga tabi’in jika hadisnya mursal. Namun jika nama perawi hadisnya tidak diketahui maka metode ini tidak dapat digunakan untuk mentakhrij.[25] Misalnya hadis| riwayat Imam Ahmad:
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدِ بْنِ أَبِي هِنْدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ :قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الْفَرَاغُ وَالصِّحَّةُ.[26] 
Jika ditemukan hadis dengan bentuk seperti ini, maka kita dapat melacak keberadaannya melalui perawi pertama; yang ada dalam hadis di atas adalah Ibn ‘Abba>s. Pencariannya melalui kitab-kitab takhri>j yang disusun dengan periwayat, seperti kitab-kitab musnad. Saat kita membuka kitab musnad, misalnya kitab musnad Imam Ahmad bin Hambal akan kita dapatkan kitab tersebut tersusun hadis-hadisnya sesuai dengan periwayat-periwayatnya. Jadi tiap periwayat dibawahnya terdapat hadis-hadis yang diriwayatkannya. Tinggal kita mencari hadis yang dimaksud yang berada di bawah nama sahabat tersebut. Kitab yang digunakan untuk mentakrij dengan metode ini adalah kitab: musanid (kitab yang disusun berdasarkan periwayat pertama) seperti musnad Imam Ahmad bin Hanbal. Kitab al-At}raf: kebanyakan kitab-kitab al-at}raf disusun berdasarkan musnad-musnad para sahabat dengan urutan nama mereka sesuai susunan huruf abjad. Jika seorang peneliti mengetahui bagian dari hadis itu, maka dapat merujuk pada sumber-sumber yang ditunjukkan oleh kitab-kitab al-athraf tadi untuk mengambil hadis| secara lengkap.
Kelebihan dan kekurangan metode ini
Kelebihannya, lebih tepat mendapatkan hadis| yang dicari, karena langsung focus pada hadis| yang diriwayatkan oleh sahabat yang dimaksud. Adapun kekurangannya, tidak mungkin menggunakan cara ini jika tidak diketahui perawinya. susunan semacam ini, terkadang membutuhkan kesabaran saat mencari hadis yang diriwayatkan banyak hadis, karena harus mencari satu persatu dari sekian banyak hadis riwayat periwayat yang dimaksud.[27]
4.    Takhri>j melalui tema pembahasan hadi>s|
Takhri>j dengan metode ini dituntut kecerdasan dan pengetahuan tentang fiqih hadis. Seorang pentakhrij diharuskan mampu memetakan hadis yang dicari sesuai dengan tema yang berkaitan dengan hadis yang dicari. Jika telah dikatahui tema dan objek pembahasan hadis|, maka bisa dibantu dalam takhrijnya dengan karya-karya hadis| yang disusun berdasarkan bab-bab dan judul-judul. Cara ini banyak dibantu dengan menggunakan kitab Miftah Kunuz al-Sunnah yang berisi daftar isi yang disusun berdasarkan judul-judul pembahasan.[28] Kitab ini disusun oleh seorang orientalis berkebangsaan Belanda yang bernama Arinjan Wensink yang juga penyusun dari kitab Mu’jam al-Mufahras. Kitab ini mencakup daftar isi untuk 14 kitab hadis| yang terkenal, yaitu: al-kutub at-tis’ah (sebagaimana yang digunakan dalam al-mu’jam al-Mufahras) ditambah dengan kitab Musnad Abu Dawud al-T}ayalisi, Musnad Zaid bin Ali, Sirah Ibnu Hisyam, Maghazi al-Waqidi, dan T}abaqat Ibnu Sa’ad. Dalam menyusun kitab ini, penyusun (Wensink) menghabiskan waktunya selama 10 tahun. Kitab ini kemudian diterjemahkan ke bahasa Arab dan diedarkan oleh Muhammad Fuad Abdul-Baqi yang menghabiskan waktu untuk itu selama 4 tahun.[29]
Kelebihan dan kekurangan metode ini
Kelebihannya, pertama, metode ini tidak menuntut keharusan awal kata dari hadis sebagaimana pada metode pertama, tidak juga pengertian tentang tas}ri>f  kosakata sebagaimana pada metode kedua, tidak pula pengetahuan pada periwayat pertama sebagaimana pada metode ketiga. Cukup dengan mengetahui makna yang terkandung dalam hadis| sudah dapat menggunakan metode ini. Kedua, metode ini mengasah kecerdasan siswa atau peneliti saat berusaha memahami makna yang terkandung dalam hadis| yang hendak dicari. Dengan menggunakan cara ini berulang-ulang akan memberikan ketajaman dalam memahami fiqh hadis|. Ketiga, metode ini juga akan memberikan informasi tentang hadis| yang dicari dan hadis-hadis lain yang sesuai dengan topiknya, yang hal ini akan semakin membangkitkan motivasi mutakharrij.[30]
Kekurangannya, pertama, jika makna yang terkandung tidak ditemukan, maka metode ini tidak dapat dilakukan. Kedua, terkadang makna hadis| yang difahami penyusun berbeda dengan yang dipahami oleh mutakharrij sehingga hadis| tidak dapat ditemukan.[31]
5.    Takhri>j melalui sifat atau jenis hadi>s|
Saat akan mentakhrij sebuah hadis|, dapat kita gunakan salah satu dari metode-metode takhri>j di atas. Adapun metode kelima ini memberikan nuansa baru. Jika dalam hadis| yang akan kita cari nampak sifat yang jelas akan jenis hadis| tersebut, maka sifat itu tidak dapat digunakan sebagai patokan dalam mencari hadis|. Para ulama telah mengklarifikasi hadis-hadis Nabi dalam kelompok-kelompok tertentu sesuai dengan jenisnya. Bagi peneliti tidak akan kesulitan tatkala hendak melacak hadis| jika sudah ditemukan jenis tersebut. Misalnya jika sudah diketahui bahwa hadis| yang akan kita cari masuk kategori hadis| muttawatir, maka kita tinggal malacak di kitab kumpulan hadis-hadis mutawatir. Jika kategori hadis| maud}u’, maka dicari kitab kumpulan hadis-hadis maud}u’ dan jika hadis| qudsi, maka dilacak di kitab kumpulan hadis| qudsi dan sedemikian seterusnya. Kitab-kitab yang dapat digunakan dalam metode ini cukup banyak sesuai dengan sifatnya masing-masing, antara lain: al-Azha>r al-Mutana>s|irah fi al-Akhba>r al-Mutawa>tirah (berisi kumpulan hadis-hadis mutawatir) karya Ima>m al-S}uyut}i>, al-It}a>fat al-S|aniyah fi al-Aha>dis| al-Qudsiyyah (kumpulan hadis-hadis qudsi) disusun oleh Majlis al-A’la bidang al-Qur’a>n dan Hadis|, Tanzih al-Syari’ah al-Marfu’ah ‘an al-Akhba>r al-Syani’ah al-Maud}u’ah (kumpulan hadis maudu’) karya ibn ‘Iraq, dan lain sebagainya.[32]
Kelebihan dan kekurangan metode ini
Kelebihannya, metode ini cukup mudah dan simple, karena kitab yang digunakan mentakhrij tidak banyak hingga melacaknya tidak terlalu sulit. Adapun kekurangannya, lebih dikarenakan minimnya kitab yang dimaksudkan hingga keleluasaan pelacakannya terbatas.[33]
Demikianlah beberapa metode yang dapat ditempuh dalam mentakhrij hadis| dengan spesifikasinya masing-masing. Satu hal yang patut diingat, bahwa materi takhr>ij hadis| tidak sebatas memberikan pengetahuan tentang metode-metode takhri>j, namun juga memberikan keahlian (maharah) dalam mentakhrij.
Agar materi takhri>j ini memberikan banyak guna dan manfaat, maka hendaknya saat membaca perlu menghadirkan kitab-kitab yang dimaksud agar dapat langsung menggunakannya. Praktik mentakhrij juga akan mengenalkan peneliti pada banyak kitab hadis| di perpustakaan.
Memang, pelacakan hadis| pada zaman kita sekarang sudah dapat dilakukan dengan menggunakan program CD yang jauh lebih simple, namun mengenal kitab-kitab turas| karya para ulama Islam tidak dapat dilakukan melalui CD. Ada sisi positif dan negatifnya dengan hadirnya program-proramnya CD yang banyak tersebar di banyak Negara, serta banyak pula kitab turas|  yang telah dibentuk dalam program CD.
D.  Aplikasi Metode Takhri>j Hadi>s|
Manusia hidup di dunia ini bergelimang dalam nikmat yang tak terhingga dan tak terhitung jumlahnya. Nikmat itu mengiringi perjalanan hidup manusia dan membuat hidupnya bahagia. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban manusia untuk bersyukur akan segala nikmat yang telah diperolehnya, yaitu dengan cara mempergunakannya sesuai dengan tujuan penciptaannya dalam hal ketaatan dan beribadah kepada Allah swt dan agar bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Sehingga tidak ada waktunya yang terbuang percuma tanpa manfaat, dengan begitu dia telah mempergunakan nikmat yang banyak tersebut yang telah Allah berikan kepadanya.
Manusia mempergunakan setiap nikmat yang diberikan oleh Allah kepadanya, tetapi terkadang hanya mempergunakan sebahagian kecil saja dari tujuan diciptakannya nikmat tersebut, karena lupa atau berpura-pura lupa bahwa Allah nantinya akan membuat perhitungan dengannya atau menanyakan tentang nikmat yang telah diberikan-Nya tersebut dan dia pergunakan untuk apa nikmat tersebut. Sudah sewajarnya bahwa yang akan mendapat kemenangan nantinya di akhirat adalah orang yang mampu memanfaatkan nikmat tersebut dan mempergunakannya dengan sebaik-baiknya dalam hal ketaatan dan ibadah kepada Allah, yang mana ia tidak membuang-buang kesempatan yang diberikan kepadanya di dunia dan ia mempergunakan kesempatan tersebut dengan sebaik-baiknya untuk memperoleh keridhaan Allah swt.
Hadis| yang akan kita takhrij adalah hadis| yang berbicara tentang dua kenikmatan dari seluruh nikmat yang ada, yaitu kesehatan dan waktu luang.
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
Hadis| tersebut setelah ditelusuri dalam al-Mu’ja>m al-Mufahras liAlfāz} al-Hadi>s| al-Nabawi> dengan menggunakan lafadz نعمتان, maka hadis| tersebut terdapat dalam berbagai kitab hadis|, yaitu[34]:
1.      Sahih Bukhari, kitab Riqāq, bab 1.
2.      Sunan al-Tirmidzi, kitab Zuhd, bab 1.
3.      Sunan Ibnu Majah, kitab Zuhd, bab 15.
4.      Musnad Ahmad bin Hanbal, Jilid I, hal. 344.
Hasil takhrij hadis|| setelah menelusuri literatur yang ditunjuk sebagai sumber-sumber asli dari hadis| tersebut adalah, sebagai berikut:
1.      Hadis| Riwayat al-Bukhari, dalam buku Sahih Bukhari, kitab al-Riqāq (81), bab al-Shihhah wa al-Farāgh wa lā ‘Aysy illā ‘Aysy al-Akhirah (1), no. 6412.
حَدَّثَنَا الْمَكِّيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ هُوَ ابْنُ أَبِي هِنْدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ.[35]

2.      Hadis Riwayat al-Tirmidzi, dalam buku Sunan al-Tirmidzi, tahqīq Kamāl Yusuf al-Hūt, kitab al-Zuhd (37), bab al-Shihhah wa al-Farāgh; Ni’matāni Maghbūn fīhimā katsīr min al-Nās (1), no. 2304.
حَدَّثَنَا صَالِحُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ وَسُوَيْدُ بْنُ نَصْرٍ قَالَ صَالِحٌ حَدَّثَنَا و قَالَ سُوَيْدٌ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَعِيدِ بْنِ أَبِي هِنْدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ.[36]
3.       Hadis Riwayat Ibnu Majah, dalam buku Sunan Ibnu Majah, tahqīq Shidqīy Jamīl al-‘Atthār, kitab al-Zuhd (37), bab al-Hikmah (15), no. 4170.
حَدَّثَنَا الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْعَظِيمِ الْعَنْبَرِيُّ حَدَّثَنَا صَفْوَانُ بْنُ عِيسَى عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَعِيدِ بْنِ أَبِي هِنْدٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ.[37]
4.      Hadis Riwayat Ahmad bin Hanbal, dalam buku Musnad Ahmad bin Hanbal, bab Musnad ‘Abdillah bin al-‘Abbās bin ‘Abd al-Mutthalib ‘an al-Nabi saw, no. 3207.
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدِ بْنِ أَبِي هِنْدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ :قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الْفَرَاغُ وَالصِّحَّةُ.[38]












BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Pada hakikatnya takhri>j hadis| adalah penelusuran atau pencarian hadis| pada berbagai kitab hadis| sebagai sumbernya yang asli yang didalamnya dikemukakan secara lengkap matan dan sanadnya. Penelusuran dan pencarian hadis| pada sumber aslinya ini memeliki beberapa urgensi yakni;
  • Secara metodologis pengutipan hadis pada sumber primer adalah suatu keharusan.
  • Syarat untuk penelitian sanad.
  • Menghindari kesalahan redaksi.
  • Menghindari kesalahan nilai hadis karena membangsakan kualitas hadis secara tidak benar. Seperti menempatkan hadits dhaif kepada hadits shahih atau sebaliknya.
Adapun metode takhri>j al-hadis| itu sendiri terdiri dari lima macam, yakni :
1.      Takhri>j melalui awal kata 
2.      Takhri>j melalui salah satu kata dalam matan hadis| 
21
3.      Takhri>j melalui perawi pertama 
4.      Takhri>j melalui tema pembahasan hadis|
5.      Takhri>j melalui sifat atau jenis hadis|
B. Saran
Di dalam penulisan makalah ini, penulis sangat menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan yang sempat terselip pada setiap lembaran didalamnya. Untuk itu, penulis berharap agar para pembaca secara terbuka dapat memberikan masukan dan kritikan serta-merta sebagai perbaikan dan penyempurnaan makalah ini kedepannya. 









DAFTAR PUSTAKA

Abī ‘Isā Muhammad bin ‘Isā bin Sawrah, Sunan al-Tirmidzi, jilid IV (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th).

Abī ‘Abdillah Muhammad bin Yazīd al-Qazwaynīy, Sunan Ibnu Majah, Jilid II (Beirut: Dār al-Fikr, 1995).

Abū ‘Abdillah Ahmad bin Hanbal, al-Musnad li al-Imām Ahmad bin Hanbal, Jilid I (t.t: Dār al-Fikr, t.th),

Ahmad, Arifuddin, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, Cet. I; Jakarta: Renaisan, 2005.

Ilyas, Abustani dan La Ode Ismail Ahmad, Studi Hadis: Ontologi, Epistomologi, dan aksiologi, Cet. I; Makassar: Alauddin University Press, 2011.

Al-Imam Abī ‘Abdillah Muhammad bin Ismāīl al-Bukhārīy al-Ja’fīy, Sahih al-Bukhārīy, jilid VII (Cet. I; Riyadh: Dār ‘Alam al-Kutub, 1996), h. 169-170.

Ismail, M. Syuhudi, Cara Praktis Mencari Hadis, Cet. II; Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Munawwir, Ahmad Wirson, al-Munawwir (Kamus Arab-Indonesia), Cet. XIV; Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.

Puyu, Darsul S., Metode Takhrij Al-Hadis Menurut Kosa Kata, Tematik, dan CD Hadis, Cet. I; Makassar: Alauddin University Press, 2012.

Soetari, Endang, Ilmu Hadis, Cet. II; Bandung: Amal Bakti Press, 199.

M. Anton Athoillah, Latar Belakang Ilmu Takhrij http://www.knowledge-leader.net/?p=225&cpage=1

Wensinc, et al.,  al-Mu’jam al-Mufahras liAlfāzh al-Hadis al-Nabawy, jilid VI (Leiden: Brill, 1943). 


[1]M. Anton Athoillah, Latar Belakang Ilmu Takhrij http://www.knowledge-leader.net/?p=225&cpage=1 (akses tanggal 20 November 2014).
[2]Darsul S. Puyu, Metode Takhrij Al-Hadis Menurut Kosa Kata, Tematik, dan CD Hadis, (Cet. I; Makassar: Alauddin University Press, 2012), h. 41.
[3]Ahmad Wirson Munawwir, al-Munawwir (Kamus Arab-Indonesia), (Surabaya: Pustaka Progressif, Cet; XIV, 1997), h. 330.
[4]Darsul S. Puyu, Metode Takhrij Al-Hadis Menurut Kosa Kata, Tematik, dan CD Hadis, (Cet. I; Makassar: Alauddin University Press, 2012), h. 33.
[5]Ahmad Wirson Munawwir, al-Munawwir, h. 1379.
[6]Ahmad Wirson Munawwir, al-Munawwir, h. 394.
[7]Ahmad Wirson Munawwir, al-Munawwir, h. 1542.
[8]Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, (Cet. I; Jakarta: Renaisan, 2005.

[9]Endang Soetari, Ilmu Hadis, (Cet. II; Bandung: Amal Bakti Press, 1997), h. 165.


[10]Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Studi Hadis: Ontologi, Epistomologi, dan aksiologi, (Cet. I; Makassar: Alauddin University Press, 2011), h. 121-122.
[11]Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Studi Hadis: Ontologi, Epistomologi, dan aksiologi, h. 123.
[12]Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Studi Hadis…., h. 123.
[13]Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Studi Hadis: …, h. 123.
[14]Darsul S. Puyu, Metode Takhrij Al-Hadis….., h. 36.
[15]Darsul S. Puyu, Metode Takhrij Al-Hadis..…, h. 36.
[16]Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Studi Hadis: Ontologi, Epistomologi, dan aksiologi, h. 124.
[17]Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, h. 71.
[18]Darsul S. Puyu, Metode Takhrij Al-Hadis Menurut Kosa Kata, Tematik, dan CD Hadis, h. 44-45
[19]Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, h. 72.
[20]Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Studi Hadis (Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi),119-120.
[21]Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Studi Hadis (Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi), (Cet. I; Makassar: Alauddin University Press, 2011), h. 129.
[22]Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Studi Hadis (Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi), h. 130-131.
[23]Darsul S Puyu, Metode Takhrij al-Hadis menurut Kosa Kata, Tematik dan CD Hadis, h. 50.
[24]Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Studi Hadis (Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi), h. 138.
[25]Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Studi Hadis (Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi), h. 139.
[26]Abū ‘Abdillah Ahmad bin Hanbal, al-Musnad li al-Imām Ahmad bin Hanbal, Jilid I (t.t: Dār al-Fikr, t.th), h. 344.

[27]Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Studi Hadis (Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi), h. 139.
[28]Darsul S. Puyu, Metode Takhrij Al-Hadis…..., h. 59
[29]Darsul S. Puyu, Metode Takhri>j Al-Hadis……, h. 59.
[30]Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Studi Hadis (Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi), h. 141.
[31]Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Studi Hadis (Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi), h. 141.
[32]Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Studi Hadis (Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi), h. 143.
[33]Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Studi Hadis (Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi), h. 144.
[34]Wensinc, et al., al-Mu’jam al-Mufahras liAlfāzh al-Hadis al-Nabawy, jilid VI (Leiden: Brill, 1943), h. 494. 
[35]Al-Imam Abī ‘Abdillah Muhammad bin Ismāīl al-Bukhārīy al-Ja’fīy, Sahih al-Bukhārīy, jilid VII (Cet. I; Riyadh: Dār ‘Alam al-Kutub, 1996), h. 169-170.
[36]Abī ‘Isā Muhammad bin ‘Isā bin Sawrah, Sunan al-Tirmidzi, jilid IV (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th), h. 477. 
[37]Abī ‘Abdillah Muhammad bin Yazīd al-Qazwaynīy, Sunan Ibnu Majah, Jilid II (Beirut: Dār al-Fikr, 1995), h. 556.
[38]Abū ‘Abdillah Ahmad bin Hanbal, al-Musnad li al-Imām Ahmad bin Hanbal, Jilid I (t.t: Dār al-Fikr, t.th), h. 344.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar