Makalah
JAM‘ AL-QUR’AN WAKITABATUHU
Disampaikan
pada Seminar Perkuliahan
Mata Kuliah
‘Ulum Al- Qur’an Pasca Sarjana (S2) UIN Alauddin Makassar
Semester I
TahunAkademik 2014
Oleh :
Baiq Raudatussolihah
Dosen Pemandu:
Dr. H. Kamaluddin Abu Nawas, M.Ag.
Dr. H. Baharuddin HS., M.Ag
PROGRAM
PASCASARJANA
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR
2014
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah swt.
menciptakan manusia dengan sebaik-baik ciptaan, karena manusia adalah makluk
ciptaan Tuhan yang paling sempurna baik itu jasmaniah, ruhaniah, hati, maupun
akal. Karena dengan akal itulah manusia mengembangkan dan menjalankan amanah
dari sang Maha Pencipta sebagai khalifah dimuka bumi ini. Manusia ditugaskan
oleh Allah untuk mengatur, menjaga mengelola alam ini dengan sebaik-baiknya.
Allah Maha Pengasih dan Penyayang, Dia memberi amanah kepada manusia untuk
menjadi khalifah dengan tak lupa menurunkan petunjuk-Nya sebagai pedoman
manusia dalam menjalankan amanahnya, petunjuk itu berupa Kita>b suci
yang di bawakan oleh para Rasul lewat pelantaraan Ru>hul Amin Jibri>l
a.s. yaitu al-Qur'a>n al-Kari>m.
Pada awalnya
al-Qur’a>n belum dibukukan kedalam satu kesatuan seperti yang kita lihat dan
baca saat ini, dan kondisinya masih berserakan berupa suhuf-suhuf baik
itu di pelepah kurma, dedaunan maupun ditulang belulang. Tulisan-tulisan
melalui benda yang berbeda tersebut memang dimiliki oleh Rasu>lulla>h
namun tidak tersusun sebagaimana mushaf yang seperti sekarang ini. Demi
menjaga keaslian al-Qur'a>n pada masa Nabi, Nabi melarang sahabat untuk
menulis selain al-Qur'a>n, beliau menyuruh para sahabat untuk menghafal
al-Qur'a>n.[1]
Pada masa khalifah
Abu> bakar terjadi peristiwa yang sangat besar yaitu terbunuhnya 70
penghafal al-Qur’a>n dalam perang menumpas kaum murtadin orang orang
yang murtad karena tidak mau bayar zakat dan mengikuti nabi palsu. Karena
peristiwa itu Umar bin Khatta>b mengusulkan kepada khalifah untuk
mengumpulkan al-Qur'a>n (membukukan al-Qur'a>n). Dan usulan itupun
diterima. dan dimulailah pengumpulan al-Qur’a>n hingga selesai. Dengan
demikian, disusunlah kepanitiaan atau Tim penghimpun al-Qur’a>n yang
terdiri atas Zaid bin S{abit sebagai ketua dibantu oleh Ubay bin Ka’ab, Us{ma>n
bin ‘Affa>n, Ali bin Abi> T}a>lib, dan para Sahabat lainnya sebagai
Anggota.[2] Kemudian
pada pemerintahan Us{ma>n bin ‘Affa>n pengumpulan al-Qur’a>n tersebut dilengkapi
dan ditulis dalm bahasa Quraisy. Begitulah Allah menjaga al-Qur'a>n karena
al-Qur'a>n datang dari-Nya dan Dialah yang akan menjaganya.
Sementara pandangan seperti di atas, umat Islam di seluruh dunia meyakini bahwa al-Qur’a>n seperti yang ada pada kita sekarang ini adalah otentik
dari Allah swt. melalui Rasu>lulla>h saw., namun cukup menarik, semua riwayat mengatakan
bahwa pembukuan kitab suci itu tidak dimulai oleh Rasu>lulla>h saw. dalam bentuk mushaf seperti
sekarang ini tapi hanya dengan hafalan dan penulisan, melainkan oleh para sahabat beliau, dalam hal ini
khususnya Abu> Bakar, Umar ibn Khatta>b dan Us{ma>n ibn ‘Affa>n.
Pesan komunikasi yang telah melewati perantara dari seorang terhadap orang lain, terlebih melewati frekuensi jumlah orang yang
banyak akan meragukan keabsahan pesan asli tersebut. Selain itu, rentan
waktu yang cukup lama juga amat berpengaruh terhadap nilai dari pesan tersebut.
Yang menarik adalah seperti apa membuktikan bahwa pesan al-Qur’a>n adalah
sesuatu yang telah ditetapkan berdasarkan ketetapan Allah!
Dari hal tersebut di atas, maka menarik
untuk dikaji, khususnya aspek sejarah dari proses pengumpulan al-Qur’a>n pada masa Rasu>lulla>h sampai
pada masa sahabat.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, maka penulis membuat
suatu permasalahan pokok yaitu:
1.
Apa pengertian Jam‘ al-Qur’a>n?
2.
Bagaimana proses atau sejarah
jam’u al-Qur’a>n wa kita>batuhu pada masa Nabi Muhammad saw. dan pada masa
Khulafa> al-Ra>syidu>n?
3.
Bagaimana proses
penyempurnaan mushaf Us|ma>ni>?
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1.
Untuk mengetahui pengertian
dari Jam‘ al-Qur’a>n.
2.
Untuk mengetahui sejarah
pengumpulan al-Qur’a>n (Jam‘ al-Qur’a>n) wa kita>batuhu pada masa Nabi
Muhammad saw. dan masa Khulafa> al-Ra>syidu>n.
3.
Untuk mengetahui sejarah
penyempurnaan mushaf Us|ma>ni>.
[1]Kamaluddin Marzuki, ‘Ulu>m
Al-Qur’a>n, (Cet. II; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), h. 67.
[2]Subhi Al-Shalih, Maba>his
fi> Ulu>m Al-Qur’a>n diterjemahkan oleh Tim Pustaka Firdaus dengan
judul Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Cet. IV; Jakarta: Pustaka Firdaus,
1993), h. 85.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Jam‘ Al-Qur’a>n
Dalam sebagian besar
literatur yang membahas tentang ilmu-ilmu al-Qur’a>n, istilah bang sering dipakai
untuk menunjukkan arti penulisan, pembukuan, atau kodifikasi al-Qur’a>n
adalah جمع القران yang
artinya pengumpulan al-Qur’a>n. Sementara, hanya sebagian kecil literatur
yang memakai istilah كتابةالقران artinya penulisan al-Qur’a>n serta تدوين القران artinya
pembukuan al-Qur’a>n.[1]
Ditinjau dari segi bahasa, al-jam‘ berasal dari kata-
جمعا يجمع- جمع yang artinya mengumpulkan
atau menghimpun.[2] Jadi
jam‘ al-Qur’a>n berarti pengumpulan atau penghimpunan al-Qur’a>n. Sedangkan pengertian al-jam‘ secara terminologi, para ulama berbeda pendapat. Al-Zarqa>ni mengatakan bahwa:
كلمة جمع القرآن
تطلق تارة ويراد منها حفظه واستظهاره فى الصدور. وتطلق تارة أخرى ويراد منها
كتابته كله حروفا وكلمات وآيات وسورا. هذا جمع فى الصحائف والسطور, وذاك جمع فى
القلوب والصدور.[3]
Menurut al-Qurt}ubi> dan Ibnu Kas{ir dalam Rachmat Syafe’i, maksud dari jam‘ al-Qur’a>n adalah menghimpun al-Qur’a>n dalam hati atau menghafal al-Qur’a>n.[4]
Di kalangan jumhur
ulama’, jam’ al-Qur’a>n adalah salah satu dari dua pengertian berikut:
Pertama: pengumpulan
dalam arti hafaz}ahu (menghafalnya dalam hati). Jumma‘ al-Qur’a>n artinya
huffa>z{uhu (para penghafalnya, yaitu orang-orang yang menghafalnya dalam
hati). Inilah makna yang terkandung dalam firman Allah kepada Nabi, di mana
Nabi senantiasa menggerak-gerakkan kedua bibir dan lidahnya untuk membaca
al-Qur’a>n ketika al-Qur’a>n itu turun kepadanya sebelum Jibri>l
selesai membacakannya, karena hasrat besarnya untuk menghafalnya
Ibnu Abba>s
mengatakan, bahwa Rasulullah saw. sangat ingin segera menguasai al-Qur’a>n yang diturunkan. Ia
menggerakkan kedua bibir dan lidahnya karena takut apa yang turun itu akan
terlewatkan. Ia ingin segera menghafalnya. Maka Allah menurunkan ayatnya:
w õ8ÌhptéB ¾ÏmÎ/ y7tR$|¡Ï9 @yf÷ètGÏ9 ÿ¾ÏmÎ/ ÇÊÏÈ ¨bÎ) $uZøn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur ÇÊÐÈ #sÎ*sù çm»tRù&ts% ôìÎ7¨?$$sù ¼çmtR#uäöè% ÇÊÑÈ §NèO ¨bÎ) $uZøn=tã ¼çmtR$ut/ ÇÊÒÈ
“Jangan engkau (hai
Muhammad) karena hendak cepat menghafal al-Qur’an yang diturunkan kepadamu,
menggerakkan lidahmu untuk membacanya (sebelum selesai dibacakan kepadamu).
Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya dan membacakannya.” Ibn
Abba>s berkata, “maksudnya adalah Kamilah yang bertanggung jawab mengumpulkannya
di dalam dadamu, kemudian kami akan membacakannya. Firman-Nya, “apabila kami
telah membacanya,” artinya, “apabila Kami telah menurunkannya kepadamu.” Makna
ayat “maka ikutilah bacaannya itu” adalah dengarkan dan perhatikanlah ia”.
Adapun maksud ayat, “kemudian, atas tanggungan Kamilah penjelasannya,” yakni
menjelaskannya melalui lisanmu. Dalam redaksi lain dikatakan, “Atas tanggungan
Kamilah membacakannya.” Maka setelah ayat ini turun, Rasullah diam apabila
Jibri>l datang. Dalam redaksi yang berbeda, “Beliau mendengarkan.” Dan bila
Jibr>l telah pergi, barulah Beliau membacanya sebagaimana diperintahkan
Allah.”
Kedua: Pengumpulan
dalam arti kita>batuh kullih (penulisan al-Qur’a>n semuanya) baik
denga memisah-misahkan ayat-ayat dan surat-suratnya, atau menertibkan
ayat-ayatnya semata dan setiap surat ditulis dalam satu lembaran yang terpisah,
ataupun menertibkan ayat-ayat dan surat-suratnya dalam lembaran-lembaran yang
terkumpul yang menghimpun semua surat, sebagiannya ditulis sesudah sebagian
yang lain. [5]
Apabila dicermati
pembahasan yang terdapat diberbagai literatur di atas, sesungguhnya
istilah-istilah yang mereka gunakan mempunyai maksud yang sama, yaitu proses
pengumpulan wahyu (al-Qur’a>n) yang diturunkan
oleh Allah kepada Rasu>lulla>h saw., kemudian sahabat diperintahkan untuk mencatat atau menulis
wahyu tersebut, kemudian dihimpunnya
catatan-catatan tersebut dalam satu mushaf yang utuh dan tersusun secara
tertib. Semua proses ini merupakan bagian dari
upaya untuk mengamankan dan melestarikan kitab suci al-Qur’a>n.
B.
Sejarah
Pengumpulan Al-Qur’a>n (Jam‘ Al-Qur’a>n)
Pengumpulan
al-Qur'a>n terjadi melalui tiga tahapan atau tiga priode yang pertama priode
Rasu>lulla>h saw., kedua periode Khalifah Abu> Bakar dan yang
ketiga priode Khalifah Us|ma>n bin Affa>n.[6]
1.
Sejarah Jam‘ Al-Qur’a>n
Pada Masa Rasu>lulla>h saw.
Pengumpulan al-Qur’a>n
pada masa Nabi Muhammad saw. ada dua cara yang diterapkan dalam memelihara al-Qur'a>n
yaitu pengumpulan al-Qur’a>n dalan konteks hafalan dan pengumpulan al-Qur’a>n
dalam konteks penulisan, artinya setiap ayat yang turun langsung dicatat oleh
penulis wahyu dan dihafal oleh para sahabat.[7]
Dalam hal ini Allah berfirman Q.S. al-Hijr 15/9:
$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒÈ
Terjemahannya:
“Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan al-Qur’a>n, dan Sesungguhnya kami benar-benar
memeliharanya (Al-Hijr: 9).”[8]
Ayat ini memberikan
jaminan tentang kesucian dan kemurnian al-Qur’a>n selama-lamanya. Baik
dijaga langsung oleh Allah maupun lewat para huffa>z al-Qur'a>n
dengan cara menulis dan menghafalnya. Pengumpulan al-Qur’a>n pada masa Nabi
Muhammad saw. ada dua cara, yaitu:
a)
Pengumpulan al-Qur’a>n
dalam konteks hafalan pada masa Nabi Muhammad saw.
Al-Qur’a>n
al-Kari>m turun kapada Nabi yang ummi (tidak bisa baca-tulis). Karena
itu, perhatian Nabi hanyalah untuk sekadar menghafal dan menghayatinya agar ia
dapat menguasai al-Qur’a>n persis sebagaimana halnya al-Qur’a>n
diturunkan[9].
Allah berfirman Q.S. al-Jum’ah 62/2:
uqèd Ï%©!$# y]yèt/ Îû z`¿ÍhÏiBW{$# Zwqßu öNåk÷]ÏiB (#qè=÷Ft öNÍkön=tã ¾ÏmÏG»t#uä öNÍkÏj.tãur ãNßgßJÏk=yèãur |=»tGÅ3ø9$# spyJõ3Ïtø:$#ur bÎ)ur (#qçR%x. `ÏB ã@ö6s% Å"s9 9@»n=|Ê &ûüÎ7B ÇËÈ
Terjemahannya:
“Dia-lah yang
mengutus seorang Rasu>l kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, yang
membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka dan
mengajarkan kepada mereka Kita<b dan Hikmah (al-Sunnah). meskipun sebelumnya
mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata”.(Q. S Al-Jum’ah : 2)[10]
Biasanya,
orang yang ummi itu mengandalkan kekuatan hafalan dan ingatanya. Mereka
sangat peka dalam hafalan serta daya
pikirnya begitu terbuka. Upaya
yang paling utama adalah Nabi menghafal ayat-ayat itu dan menyampaikannya kepada
para sahabat yang kemudian juga menghafalnya sesuai dengan yang disampaikan
Nabi. Upaya kedua yang dilakukan Umat Islam dalam upaya pemeliharaan al-Qur’a>n
adalah mencatat atau menuliskannya dengan persetujuan Nabi[11].
Oleh
karena itu, beliau adalah orang yang paling pertama menghafal al-Qur’a>n dan
merupakan contoh yang paling baik bagi para sahabat dan pengikutnya. Al-Qur’a>n
diturunkan dalam proses selama kurang lebih dua puluh tiga tahun, yang
terkadang turunnya itu hanya satu ayat atau lebih bahkan sampai sepuluh ayat,
atau tidak turun sama sekali. Dan setiap kali sebuah ayat turun, Rasu>lulla>h
langsung menghafalnya dan disimpan dalam hati, mengingat beliau dari bangsa
Arab, secara kodrati orang-orang bangsa Arab memiliki kemampuan menghafal yang
kuat. Karena pada umumnya mereka buta huruf, sehingga dalam penulisan
berita-berita, syair-syair dan silsilah, mereka lakukan dengan menulis di dalam
hati mereka (menghafalnya).[12]
Dalam kitab
S}ahihnya, Bukha>ri> telah mengemukakan tentang adanya tujuh ha>fidz,
melalui tiga riwayat. Mereka adalah Abdulla>h bin Mas’ud, Salim bin Ma’qal
bekas seorang budak, Abu> Huzaifah, Muaz bin Jabal, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin
S|abit, Abu> Zaid bin Sakan dan Abu> Darda’.[13]
Maksud
dari pembatasan tujuh orang sahabat penghafal al-Qur’a>n yang disebutkan
oleh al-Bukha>ri> adalah mereka itulah yang hafal seluruh isi al-Qur’a>n
di luar kepala, dan selalu merujukkan hafalannya di hadapan Nabi Muhammad saw.,
pada masa Nabi, memang terdapat banyak penghafal al-Qur’a>n dari kalangan
sahabat, namun tidak memenuhi hal-hal yang dimiliki oleh tujuh sahabat
penghafal tersebut. Banyak pula pendapat dan riwayat yang menyebutkan tentang
jumlah penghafalnya dengan berbagai versi. Pendapat yang mengatakan 70 orang, berdasarkan
kitab al-S{ahih tentang peperangan Sumur ma’unah disebutkan bahwa para sahabat yang terbunuh
pada peperangn itu mendapatkan gelar al-Qurra>’ (para pembaca dan
penghafal al-Qur’a>n) mereka semua berjumlah 70 orang.[14]. Pada masa Rasu>lulla>h masih
hidup, al-Qur’a>n dipelihara sedemikian rupa, sehingga cara yang paling
terkenal untuk memelihara al-Qur’a>n adalah dengan menghafal dan menulisnya.
Rasu>lulla>h memerintahkan agar para sahabat yang pandai menulis segera
menuliskan ayat-ayat al-Qur’a>n yang telah dihafal oleh mereka.
Dari keterangan-keterangan
ini jelaslah bagi kita bahwa para penghafal al-Qura>n dimasa Rasulu>lla>h
saw. amat banyak jumlahnya, dan bahwa berpegang pada hafalan dalam penukilan
sesuatu dimasa itu termasuk ciri khas umat Islam masa itu. Ibnu al-Jazari,
sebagai seorang Syaikh para penghafal pada masanya menyebutkan dalam Manna>‘
al-Qat{t{a>n: “Pengumpulan al-Qur’a>n dengan berpegang pada
hafalan bukan pada tulisan. dan kitab ini merupakan salah satu jenis
keistimewaan yang diberikan Allah kepada umat Islam.[15]
Jadi, pada masa Nabi Muhammad saw.
al-Qur’a>n hanya disimpan dalam dada para penghafal al-Qur’a>n. Karena
mengingat orang-orang arab pada masa tersebut memiliki daya hafalan yang sangat
tajam dan tinggi.
b)
Pengumpulan
al-Qur’a>n dalam Konteks Penulisan
Rasulu>lla>h
telah mengangkat para penulis wahyu al-Qur’a>n dari sahabat-sahabat terkemuka,
seperti Ali bin Abi T{alib, Mu’awiyah, Ubai bin Ka’b dan Zaid bin S|abit. Bila
ayat turun, ia memerintahkan mereka menuliskan dan menunjukan tempat ayat
tersebut dalam surat sehingga penulisan pada lembaran itu membantu penghafalan
di dalam hati. Di samping itu, tanpa diperintahkan, mereka menulis ayat-ayat
itu pada pelepah daun kurma, lempengan batu, papan, kulit atau daun kayu,
potongan tulang-belulang binatang. Zaid bin S|abit berkata: “kami menyusun al-Qur’a>n
di hadapan Rasu>lulla>h pada kulit binatang”.[16]
Dalam suatu cacatan, disebutkan bahwa sejumlah bahan yang digunakan untuk menyalin
wahyu-wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Muhammad
saw., yaitu :
1)
Akta>f, atau
tulang belikat, biasanya terbuat dari tulang belikat unta.
2)
Riqa>‘, atau
lembaran lontar (daun yang dikeringkan) atau perkamen (kulit binatang).
عن زيد بن ثابت قال :{كنا عند رسول
الله صلى الله عليه وسلم نؤلف القران من الرقاع...}الحديث .[17]
Kata riqa'
adalah jamak dari ruq'ah yang berarti lembaran kulit, lembaran daun,
atau lembaran kain. Kata riqa’ pada hadis| tersebut memberi gambaran
kepada kita betapa sederhananya alat-alat tulis yang digunakan untuk mencatat
wahyu ketika Rasu>lulla>h masih hidup.[18]
3)
Likha>f, atau
batu tulis berwarna putih, terbuat dari kepingan batu kapur yang terbelah
secara horizontal lantaran panas.
4)
‘Asib, atau
pelapah kurma, terbuat dari bagian ujung dahan pohon kurma yang tipis.
5)
Ad}la>’ atau
tulang rusuk, biasaya juga terbuat dari tulang rusuk unta.
6)
Adi>m, atau
lembaran kulit, terbuat dari kulit binatang asli yang merupakan bahan utama
untuk menulis ketika itu. [19]
Untuk menghindari
kerancuan yang diakibatkan oleh bercampurnya ayat-ayat al-Qur’a>n dengan
yang lainnya, seperti hadis| Rasu>lulla>h atau syair-syair, maka Rasu>lulla>h
tidak membenarkan seorang sahabat menulis apapun selain al-Qur’a>n.[20]
Hal ini dapat dilihat dalam hadis| yang diriwayatkan oleh Muslim dari Sa’id al-Khudri>
yang berbunyi.
أخرجه مسلم من حديث أبي سعيد,
قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم. {لاتكتبوا عنى غير القران ومن كتب عنى
غير القران فليمحه}.[21]
Para penulis wahyu
itu adalah para sahabat kepercayaan Rasu>lulla>h seperti khalifah yang
empat, Zaid bin S|abit, Abdulla>h bin Mas'ud, Ubayya bin Ka'ab, dan yang
lainnya. Mereka mencatat setiap wahyu yang turun persis sebagaimana disampaikan
Nabi sedikitpun tidak mereka ubah. Dalam pencatatan tersebut mereka selalu
menaati pedoman yang digariskan Nabi saw., yaitu tidak mencatat kecuali al-Qur'a>n
saja. Pencatatan resmi di hadapan Nabi inilah yang kemudian hari yang dipakai
oleh Abu> Bakar dalam membukukan al-Qur'a>n menjadi satu mushaf.
Penepatan ayat dan
urutan-urutanya serta susunan surat-surat di dalam mushaf sebagaimana
yang kita jumpai sekarang adalah menurut petunjuk Nabi saw. (tawqi>fi>),
bukan berdasarkan ijtihad sahabat.[22] Sebagaimana
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dari Us|ma>n ibn ‘Affa>n bahwa apabila
diturunkan kepada Nabi suatu wahyu, ia memanggil sekretaris untuk
menuliskannya, kemudian Beliau bersabda:
وروى ابن عباس أنه
قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا نزلت عليه سورة دعا بعض من يكتب, فقال:
(ضعوا هذه السورة فى الموضوع الذى يذكر فيه كذا وكذا)[23]
"Letakkanlah
surat ini di tempat yang di dalamnya disebutkan ini dan ini". [24]
ومنها ماأخرجه أحمد باسناد حسن, عن
عثمان بن أبى العاص, قال: كنت جالسا عند رسول الله صلى الله عليه وسلم , إذ شخص
يبصره , ثم صوبه, ثم قال: أتاني جبريل , فأمرني أن أضع هذه الأية هذا الموضع من
هذه السورة.[25]
¨bÎ)
©!$#
ããBù't
ÉAôyèø9$$Î/
Ç`»|¡ômM}$#ur
Ç!$tGÎ)ur
Ï
4n1öà)ø9$#
4sS÷Ztur
Ç`tã
Ïä!$t±ósxÿø9$#
Ìx6YßJø9$#ur
ÄÓøöt7ø9$#ur
4
öNä3ÝàÏèt
öNà6¯=yès9
crã©.xs?
[26]
“Dan dikeluarkan oleh Ahmad dengan sanad hasan, dari ‘Us|ma>n
bin Abi> al-‘A<s} berkata, aku tengah duduk di samping Rasu>lulla>h
saw., tiba-tiba pandangannya menjadi tajam lalu kembali seperti semula. Kemudian
bersabda: Jibril telah datang kepadaku dan memerintahkan agar aku meletakkan
ayat ini di tempat ini dan dari surat ini. “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu)
berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kaum kerabat, dan Dia
melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.
Sesungguhnya setiap
ayat yang dicatat kemudian disimpan di rumah Rasu>lulla>h, sedangkan para
pencatat membawa salinannya untuk mereka sendiri. sehingga terjadilah saling
kontrol antara naskah yang berada di tangan pencatat wahyu itu dan suhuf
(lembaran-lembaran) al-Qur'a>n yang berada dirumah Rasu>lulla>h saw.
disamping itu ada pengontrol lain dari para penghafal al-Qur'a>n di kalangan
sahabat nabi, baik yang buta huruf maupun tidak. Keadaan itulah yang menjamin al-Qur'a>n
tetap terjaga dan terpeliharan keasliannya.
Dari fakta sejarah
yang dikemukakan di atas, jelaslah keorisinalan dan kemutawatirannya, sehingga
tak ada alasan bagi siapapun untuk mengklaim bahwa al-Qur'a>n tidak
mutawatir atau tidak orisinal.
Penulisan al-Qur’a>n
pada masa Nabi, belum terkumpul menjadi satu mushaf disebabkan beberapa
faktor, di antaranya adalah:
1)
Al-Qur’a>n tidak diturunkan sekaligus, tetapi
berangsur-angsur dan terpisah-pisah, maka suatu hal yang tidak logis bila
al-Qur’a>n dikumpulkan pada masa itu sebelum keseluruhannya selesai,
al-Qur’a>n baru bisa dibukukan dalam satu mushaf setelah Nabi saw.
wafat.
2)
Selama proses turun al-Qur’a>n, masih terdapat
kemungkinan adanya ayat-ayat al-Qur’a>n yang mansukh, maka bagaimana mungkin
bisa dibukukan dalam satu waktu.
3) Tidak ada
motivasi yang mendorong untuk mengumpulkan al-Qur'a>n menjadi satu mushhaf
sebagaimana yang timbul pada masa Abu> Bakar. Orang-orang Islam pada saat
itu dalam kondidi yang normal, ahli huffa>z al-Qur'a>n begitu banyak, dan
sama sekali tidak ada unsur-unsur yang diduga akan mengganggu kelestarian
al-Qur’a>n.[27]
4) Susunan ayat
dan surat tidaklah berdasarkan urutan turunnya. Sebagian ayat ada yang turunnya
pada saat terakhir wahyu tetapi urutannya diempatkan diawal surat, yang
demikian tentunya menghendaki perubahan susunan tulisan.[28]
2.
Sejarah Pengumpulan al-Qur’a>n
Pada Masa Khalifah Abu> Bakar al-S{iddiq
Pada dasarnya, seluruh al-Qur’a>n
sudah ditulis pada waktu Nabi masih ada. Hanya saja, pada saat itu surat-surat
dan ayat-ayatnya ditulis dengan terpencar-pencar. Dan orang yang pertama kali
menyusunnya dalam satu mushaf adalah Abu> Bakar al-S{}iddiq. Oleh
karena itu, Abu> ‘Abdilla>h al-Muhasibi berkata dalam kitabnya, Fahm al-Sunan,
{ كتابة القران ليست بمحدثة
فإنه صلى الله عليه وسلم كان يأمر بكتابته , ولكنه كان مفرقا في الرقاع والأكتاف
والعسوب , فإنما أمر الصديق بنسخها من مكان إلى مكان مجتمعا, وكان ذلك بمنزلة أوراق
وجدت فى بيت رسول الله صلى الله عليه وسلم, فيها القران منتشر , فجمعها جامع,
وربطها بخيط حتى لا يضيع منها شيئ}.[29]
“Penulisan al-Qur’a>n bukan sesuatu yang baru, karena Rasu>lulla>h
sendiri telah memerintahkan penulisannya. Tapi ketika itu masih tercecer pada
berbagai lembaran kulit dan daun-daun kering, tulang-tulang unta dan kambing
yang kering, atau pada pelepah kurma. Kemudian Abu> Bakar al-S}iddiq
memerintahkan pengumpulannya menjadi sebuah naskah. Juga naskah al-Qur’a>n
yang tertulis pada lembaran-lembaran kulit yang terdapat di dalam rumah
Rasu>lulla>h, pada saat itu masih dalam keadaan terpisah-pisah, kemudian
dikumpulkan oleh seorang sahabat, lalu diikatnya dengan tali agar tidak ada
yang hilang.”
Kaum
muslimin melakukan konsensus untuk mengangkat Abu> Bakar al- S{iddiq sebagai
khalifah sepeninggalan Nabi saw. pada awal masa pemerintahan Abu> Bakar,
terjadi kekacauan akibat ulah Musailamah al-Kazzab beserta pengikut-
pengikutnya. Mereka menolak membayar zakat dan murtad dari Islam. Pasukan yang
dipimpin Khalid bin Walid segera menumpas gerakan ini. Peristiwa
tersebut terjadi di Yamamah tahun 12 H. Akibatnya banyak sahabat yang gugur,
termasuk 70 orang yang diyakini telah hafal al-Qur’a>n.[30]
Pendapat lain juga mengatakan ada 700 penghafal al-Qur’a>n yang gugur dalam
peperangan tersebut. Setelah umat Islam mengeraskan tekanannya, pertolongan
Allah pun datang, barulah tentara Musailamah hancur dan lari mengundurkan diri
dari peperangan itu. Ummat Islam mengejar mereka dan mendapatkannya lalu tentara-tentara
musuh itu dikurung dalam suatu kebun kurma.[31]
Kejadian tersebut dikritisi oleh Umar
bin Khat}t}ab. Ia khawatir peristiwa yang serupa akan terulang kembali.
Sehingga semakin banyak golongan huffa>z{ yang gugur. Bila demikian,”masa
depan” al-Qur’a>n menjadi terancam.
Maka muncul ide kreatif Umar yang disampaikan kepada Abu> Bakar al-S{iddiq
untuk segera mengumpulkan tulisan-tulisan al-Qur’a>n yang pernah ditulis
pada masa Nabi. Semula Abu> Bakar keberatan atas usul Umar. Tetapi Umar
berhasil meyakinkanya. Maka dibentuklah sebuah tim yang dipimpin oleh Zaid bin
S|abit dalam rangka merealisasikan mandat dan tugas suci tersebut. Pada
mulanya, Zaid bin S|abit pun merasa keberatan, akan tetapi dapat pula
diyakinkan. Abu Bakar memerintahkan Zaid bin S|abit, melihat kedudukanya dalam
masalah qira>a>t, hafalan, penulisan, pemahaman dan kecerdasanya
serta kehadiranya pada pembacaan yang terakhir kali. Zaid bin S|abit memulai
dengan bersandar pada hafalan yang ada dalam hati para qurra>’ dan
catatan yang ada pada para penulis. Zaid bin S|abit bertindak sangat teliti dan
hati-hati, tidak cukup baginya hanya bergantung pada hafalan semata tanpa
disertai dengan tulisan. Kemudian lembaran-lembaran itu disimpan oleh Abu>
Bakar. Setelah ia wafat pada tahun 13 H, lembaran- lembaran itu berpindah ke
tangan Umar selaku khalifah kedua dan tetap berada di tanganya hingga ia
wafat. Kemudian mushaf itu berpindah ke tangan Hafsah, puteri Umar. [32]
Dari rekaman sejarah diatas, maka dapat
diketahui bahwa Abu> Bakar al- S{iddiq adalah orang pertama yang
memerintahkan penghimpunan al-Qur’a>n, Umar bin Khat}ta>}b adalah pelontar
idenya, serta Zaid bin S|abit adalah pelaksana pertama yang melakukan kerja
besar penulisan al-Qur’a>n secara utuh dan sekaligus menghimpunya kedalam
satu mushaf.
Adapun karakteristik penulisan al-Qur’a>n
pada masa Abu> Bakar ini adalah :
1) Seluruh
ayat al-Qur’a>n dikumpulkan dan ditulis dalam satu mushaf berdasarkan
penelitian yang cermat dan seksama.
2)
Meniadakan
ayat-ayat yang telah mansukh.
3) Seluruh
ayat yang ada telah diakui kemutawatirannya.
4) Dialek
arab yang dipakai dalam pembukuan ini berjumlah 7 (qiraat) sebagaimana
yang dinukil berdasar riwayat yang benar-benar s}ahih.[33]
Demikianlah singkatnya riwayat al-Qur’a>n
ketika dikumpulkan dan dihimpun menjadi sebuah naskah dan mushaf pada
masa khalifah Abu> Bakar. Peristiwa ini terjadi pada tahun ke 11 H.
3.
Sejarah Pengumpulan
al-Qur’a>n Pada Masa Khalifah Us|ma>n bin ‘Affa>n
Latar
belakang pengumpulan al-Qur’a>n pada masa Us|ma>n bin ‘Affa>n berbeda
dengan faktor yang ada pada masa Abu> Bakar. Daerah kekuasaan pada masa Us|ma>n telah meluas dan daerah-
daerah Islam telah terpencar di berbagai daerah dan kota. Di setiap daerah
telah populer bacaan sahabat yang mengajar mereka. Penduduk Syam membaca al-Qur’a>n
mengikuti bacaan Ubay bin Ka’ab, penduduk Kufah mengikuti bacaan Abdullah bin
Mas’ud, dan sebagian yang lain mengikuti bacaan Abu> Musa al-‘Asyari.
Diantara mereka terdapat perbedaan tentang bunyi huruf, dan bentuk bacaan.[34]
Masalah ini membawa mereka kepada pintu pertikaian dan perpecahan antar sesama.
Hampir satu sama yang lainnya saling mengkufurkan karena berbeda pendapat dalam
bacaan.[35]
Senada
dengan itu, Bukha>ri> dalam shahihnya mengetengahkan sebuah hadis dengan
isnadnya Ibnu Syihab, bahwa Anas bin Malik menberitahukan kepadanya (Ibnu
Syihab): disaat-saat pasukan Syam bersama pasukan Irak berperang membela da’wah
agama Islam di Armenia dan Az|erbaijan, Huz|aifah bin al-Yaman datang menghadap
khalifah ‘Us|ma>n. Huz|aifah mengutarakan kekhawatirannya tentang perbedaan
bacaan al-Qur’a>n di kalangan muslimin, kepada ‘Us|ma>n, Huz|aifah
berkata ; “ ya ami>r al-mu’mini>n, persatukanlah segera tentang
umat ini sebelum mereka berselisih tentang kita>bulla>h sebagaimana
yang terjadi dikalangan Yahudi dan Nasrani”.[36]
Khalifah kemudian
mengirim sepucuk surat kepada Hafs}ah, berisi permintaan agar Hafs{ah mengirim mushaf
yang disimpannya untuk disalin menjadi beberapa naskah. Setelah itu mushaf
akan dikembalikan lagi kepada Hafs}ah. Hafs}ah lalu mengirim mushaf yang
disimpannya kepada khalifah.[37] Kemudian
khalifah Us|ma>n memanggil Zaid bin S|abit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al-Adh
dan Abdurrahman bin al-Haris| bin Hisyam (tiga orang Quraisy). Lalu
memerintahkan mereka supaya bekerja sama untuk menyalin dan memperbanyak mushaf
secara bersama-sama. Kemudian ‘Us|ma>n berpesan ; ”kalau terjadi
perbedaan antara kalian dan Zaid bin S|abit mengenai sesuatu tentang al-Qur’a>n,
maka tulislah menurut dialek Quraisy, karena al-Qur’a>n diturunkan dalam
bahasa mereka”. Mereka lalu bekerja melaksananakan tugas itu hingga mereka
berhasil menyalin mushaf menjadi beberapa naskah. Setelah itu mushaf
yang asli dikembalikan ke Hafs}ah.[38] Kemudian
salinannya disebarkan ke berbagai kawasan Islam.
Ada lima hal yang
dapat kita ambil dari riwayat hadist s}ahih diatas, yaitu:
a.
Perbedaan bacaan
al-Qur’a>n itulah yang sesungguhnya menjadi pendorong utama bagi ‘Us|ma>n
untuk memerintahkan penyalinan mushaf Hafs}ah menjadi beberapa mushaf.
b.
Komisi yang bertugas
menyalin mushaf terdiri dari empat orang (Zaid bin S|abit, Abdullah bin
Zubair, Sa’id bin al-Ad} dan Abdurrahma>n bin al-Haris| bin Hisyam), kempat
orang tersebut adalah orang yang sangat terpercaya, seperti pengakuan orintalis
barat blachere;”tak seorangpun yang dapat meragukan dalam rasa tanggung jawab
anggota-anggota komisi itu,. Sekalipun mereka belum mengenal metode penelitian yang
memang tidak mudah bagi seseorang pada masa itu namun mereka adalah orang-orang yang sangat
hati-hati dan saleh”.
c.
Komisi itu
menggunakan mushaf Hafs}ah sebagai dasar salinan, yang pada hakekatnya
komisi tersebut bersandar pada hasil pengumpulan pada masa khalifah Abu> Bakar.
d.
Al-Qur’a>n
diturunkan dalam bahasa Arab dialek Quraisy, dialek yang diutakaman bagi
penulisan nas} al-Qur’a>n bila timbul perbedaan antara tiga orang Quraisy
(dalam komisi tersebut) dan Zaid bin S|abit.
e.
Khalifah mengirim mushaf
hasil komisi empat ke kawasan Islam dan memerintahkan selain salinan komisi
empat dibakar agar tidak terjadi peperangan karena masalah bacaan. [39]
Apa yang dilakukan
khalifah dalam membukukan al-Qur’a>n pada mulanya mendapat perselisihan,
karena selain mushaf Hafs}ah
masih banyak mushaf yang lain yang masih digunakan oleh para sahabat,
seperti mushaf Ubay bin Ka’ab dan Abdulla>h bin Mas’ud. Keduanya
termasuk orang yang faham al-Qur’a>n serta menghafalnya. Inilah yang menjadi
kekhawatiran Khalifah Us|ma>n akan beredarnya mushaf-mushaf yang bukan
salinan dari panitia pembukuan al-Qur’a>n yang empat tersebut. Kemudian
Khalifah Us|ma>n mengambil langkah untuk memusnahkan mushaf-mushaf selain
terbitan panitia pembukuan al-Qur’a>n, yaitu dengan membakarnya. Namun,
banyak di antara para sahabat yang tidak setuju dengan langkah Us|ma>n
tersebut. Tetapi setelah bernegosiasi dengan khalifah dan mendapat bimbingan
dari Allah mereka akhirnya mau membakar mushaf mereka, demi
mempersatukan umat Islam dalam satu bacaan al-Qur’a>n sehingga tidak terjadi
lagi konflik antar sesama umat Islam.
Dari keterangan di atas,
jelaslah bahwa pengumpulan (mushaf) Abu> Bakar berbeda dengan
pengumpulan al-Qur’a>n yang dilakukan oleh Us|ma>n, baik dari segi latar
belakang (motivasi) maupun metode yang ditempuh dalam pengumpulan al-Qur’a>n
tersebut. Abu> Bakar termotivasi dari kekhawatirannya terhadap akan
hilangnya al-Qur’a>n, karena pada masa itu banyak para Qurra’ atau para huffa>z
al-Qur’a>n yang gugur dalam sebuah peperangan Yamamah. Sedangkan Us|ma>n
termotivasi dari banyaknya perbedaan dalam cara-cara membaca al-Qur’a>n yang
terjadi di berbagai wilayah kekuasaan Islam yang disaksikannya sendiri sehingga
menimbulkan pada konflik saling menyalahkan antara sesama.[40]
Pengumpulan
mushaf pada masa Abu> Bakar adalah bentuk pemindahan dan penulisan al-Qur’a>n
kedalam satu mushaf yang ayat-
ayatnya sudah tersusun, berasal dari tulisan yang terkumpul pada
kepingan-kepingan batu, pelepah kurma dan kulit-kulit binatang. Kemudian
dikumpulkan dalam satu mushaf. Tulisan-tulisan tersebut dikumpulkan
dengan ayat-ayat dan surat-suratnya yang
tersusun serta terbatas pada bacaan yang tidak dimansukh dan mencakup ketujuh
huruf sebagaimana ketika al-Qur’a>n itu diturunkan. Sedangkan pengumpulan mushaf
pada masa Us|ma>n adalah menyalin kembali mushaf yang telah tersusun
pada masa Abu> Bakar dan menyalinnya dalam satu huruf di antara ketujuh
huruf itu, untuk mempersatukan kaum muslimin dalam satu mushaf dan satu
huruf yang mereka baca tanpa enam huruf lainnya.
Dengan
usahanya itu, Us|ma>n telah berhasil menghindarkan timbulnya fitnah dan
mengikis sumber perselisihan serta menjaga al-Qur’a>n dari penambahan dan
penyimpangan sepanjang zaman.
Ulama berbeda
pendapat tentang jumlah mushaf yang dikirimkan Us|ma>n ke berbagai
daerah:
a.
Pendapat pertama
mengatakan; jumlahnya tujuh buah mushaf. Kemudian mushaf tersebut
dikirim ke Makkah, Syam, Bashrah, Kufah, Yaman, Bahrain, dan Madinah.
b.
Pendapat kedua
mengatakan; jumlahnya ada empat buah mushaf, masing-masing mushaf
tersebut dikirim ke Iraq, Syam, Mesir, dan Mushaf Imam..
c.
Pendapat terakhir
mengatakan bahwa jumlahnya ada lima mushaf. Menurut al-Suyuti>,
pendapat inilah yang masyhur. Lima buah naskah mushaf al-Qur’a>n
tersebut oleh Us|ma>n lalu dikirimkan sebuah ke Makkah, sebuah ke Syam,
sebuah ke Kuffah, sebuah ke Basrah, dan sebuah disimpan oleh beliau. Mushaf
inilah yang sampai sekarang kita kenal dengan sebutan Mushaf Us|ma>ni. [41]
Ada beberapa
karakteristik mushaf al-Qur’a>n yang ditulis pada masa Us|ma>n ibn
‘Affa>n antara lain:
a. Ayat-ayat
al-Qur’a>n yang ditulis seluruhnya berdasarkan riwayat yang mutawatir
b. Tidak memuat ayat-ayat yang mansukh
c. Surat-surat
maupun ayat-ayatnya telah disusun dengan tertib sebagaimana al-Qur’a>n yang
kita kenal sekarang. Tidak seperti mushaf al-Qur’a>n yang ditulis
pada masa Abu> Bakar yang hanya disusun menurut tertib ayat, sementara
surat-suratnya disusun menurut urutan turunnya wahyu.
d. Tidak memuat sesuatu yang tidak
tergolong al-Qur’a>n, seperti yang ditulis sebagian sahabat Nabi dalam
masing-masing mushafnya, sebagai penjelasan atau keterangan terhadap makna
ayat-ayat tersebut.
e. Dialek
yang dipakai dalam mushaf ini hanya dialek Quraisy saja, dengan alasan
bahwa al-Qur’a>n diturunkan dalam bahasa Arab Quraisy sekalipun pada mulanya
diizinkan membacanya dengan menggunakan dialek lain.[42]
Jam‘ al-Qur’a>n
(pengumpulan al-Qur’a>n) oleh Us|ma>n ini disebut dengan jam‘ al-Qur’a>n
yang ketiga pada tahun 25 H. dan dinamakan mushaf Us|ma>ni>.
C.
Mushaf
Salinan Us|ma>n pada Taraf Penyempurnaan dan Perbaikan
Salinan
mushaf khalifah Us|ma>n tidak bersyakal dan tidak bertitik. Cara baca
tulisan yang demikian itu membuka kemungkinan terjadinya berbagai macam bacaan
di berbagai kota dan daerah yang mempunyai kekhususan sendiri-sendiri sesuai
tabi’at dan adat kebiasaa masing-masing. Untuk membaca mushaf tersebut
tidak di butuhkan adanya tanda-tanda bunyi (harokat), tanda-tanda
perbedaan huruf berupa titik-titik (satu titik dua dan tiga dibawah atau diatas
huruf). Seperti yang dikatakan Abu> Ahmad al-Askari> dalam al-Subhi> S}alih,
yaitu:
“Kaum muslimin membaca
al-Qur’a>n dengan salinan mushaf Us|ma>n selama empat puluh tahun
lebih, hingga masa kekhalifahan Abdul Malik. Waktu itu banyak orang menulis
al-Qur’a>n pada lembaran-lembaran kertas dan akhirnya tersebar luas”.[43]
Ada
dugaan kuat bahwa yang dimaksud dengan “ banyak orang menulis al-Qur’a>n
pada lembaran-lembaran kertas” adalah “ banyaknya orang yang keliru membaca
lafadz al-Qur’a>n dan huruf-hurufnya setelah mereka berbaur dengan
orang-orang Arab. Bahasa-bahasa ‘Ajam (non Arab), mulai menyentuh kemurnian dan
keaslian bahasa arab.[44]
Pada
masa khalifah abdul malik, beberapa pembesar pemerintahan mulai khawatir akan
kemungkinan terjadinya perubahan nash-nash al-Qur’a>n jika dibiarkan tanpa
syakal dan tanpa titik. Menurut Abu> Bakar bin Mujahid “ syakal maupun titik
adalah sama. Hanya saja orang yang membaca lebih cepat memahami tanda syakl
daripada tanda titik”.[45]
Orang yang pertama
kali meletakkan kaidah tata bahasa arab adalah Abu Aswad al-Duali> atas
perintah Ali bin Abi> T}alib. Banyak yang berpendapat bahwa penemuan akan
cara penulisan al-Qur’a>n dengan huruf-huruf bertitik merupakan kelanjutan
dari Abu> Aswad al-Duali>, terlalu banyak memang yang membicarakan
kegairahan Abu> Aswad al-Duali> kepada bahasa al-Qur’a>n. Abu Aswad
al-Duali memberi harakat atau baris yang berupa titik merah pada mushaf
al-Qur’a>n. untuk “fathah” titik di atas huruf, “kasrah” titik
di bawah huruf, “d}ommah” titik di depan huruf, dan syiddah
berupa huruf lipat dua dengan dua titik di atas huruf.[46]
Meskipun usaha
Abu> Aswad al-Duali> telah berhasil membuat orang-orang Arab mampu
membaca al-Qur’a>n dengan baik, di samping itu juga bahasa al-Qur’a>n
merupakan sebagian bahasa mereka sehingga mereka memiliki insting bahasa Arab
yang sangat tinggi. Jadi, tidak diragukan lagi masalah bacaannya. Tapi
bagaimana dengan orang-orang selain Arab (non Arab) dan orang yang baru masuk
Islam, mereka belum memiliki insting bahasa Arab tersebut.
Dari situlah timbul
kehawatiran akan bacaan al-Qur’a>n yang baik. Sehingga muncullah ide yang
sangat bagus dari seorang raja Iraq pada masa khalifah Abdul Malik bin
Marwa>n yang bernama al-Hujja>j bin Yu>suf al-S|aqafi> untuk
menyempurnakan tanda baca al-Qur’a>n. kemudian raja al-Hujja<j
memerintahkan Nas}r bin ‘A<s}im untuk memberikan tanda-tanda pada
huruf-huruf yang memiliki kesamaan seperti ب – ت – ث dan memberikan tanda-tanda baca seperti
al-Qur’a>n yang dibaca sekarang ini.
Diriwayatkan
Ubaidilla>h bin Ziyad memberi perintah kepada orang persia untuk menambah
huruf alif (tanda bunyi panjang atau madd) pada dua ribu kata yang semestinya
dibaca dengan huruf panjang. Misalnya; kata kaanat ditulis tanpa alif (tanda
madd atau suara panjang) menjadi kanat. Semua diubah penulisannya menjadi kaanat.
Hal ini dulu pernah dicanangkan oleh khalifah Us|ma>n dengan ucapan “aku
menemukan di dalamnya (naskah mushaf salinan) beberapa bacaan yang kelak
akan dibetulkan oleh orang arab”.[47]
Allah berfirman:
$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒÈ
Terjemahannya:
“Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar
memeliharanya”[48]
Dalam
ayat tersebut Allah menggunakan isim fa’il pada kata laha>fiz}u>n yang
berarti bahwa Allah yang menurunkan dan Allahlah yang akan menjaganya dari
dulu, sekarang dan masa yang akan datang hingga akhir zaman (Abadan). Baik itu
lewat perantaraan makhluknya dengan cara menghafal maupun dengan cara
mebukukannya. Hingga masih sampai kegenerasi kita dan hingga hari kiamat kelak.
Begitulah Allah menjaga kitab-Nya tanpa ada keraguan sedikitpun pada
penjagaannya.
[1]Said Agil Husin al-Munawar, Al-Qur’an
Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Cet. III; Jakarta: Ciputat Press,
2003), h. 15-16.
[2]Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir
Kamus Arab-Indonesia, (Cet. XIV; Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h.
208.
[3]Al-Zarqa>ni>, Mana>h
al-Irfa>n fi> Ulum> al-Qur’a>n, Juz I, (Cet. I; Bairut:
Libanon, 1995), h. 173.
[5]Manna>‘ al-Qat}t}a>n, Maba>his fi
‘Ulu>m al-Qur’a>n, (Cet. X; Kairo: Maktabah Wahbah, 1997), h. 114
[6]Subhi al-S}alih, Maba>his| fi Ulu>m
Al-Qur’a>n diterjemahkan oleh Tim Pustaka Firdaus dengan judul Membahas
Ilmu-Ilmu Al-Qur’a>n, (Cet. IV; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h. 78.
[7]Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi
Sejarah Al-Qur’a>n, (Cet. I; Yogyakarta: Forum Kajian Budaya dan Agama,
2001), h. 129.
[8]Departemen Agama RI, al-Qur’a>n dan
Terjemahan, (Bandung: Syam al-Qur’a>n), h. 262.
[9]Muhammad Aly Asih Al-S}abuny, al-Tibya>n
fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n alih bahasa oleh Moch. Chudlori Umar dengan
judul Pengantar Study l-Qur’a>n (al-Tibyan), (Jakarta: Percetakan
Offset, 1982), h. 81.
[10]Departemen Agama RI, al-Qur’a>n dan
Terjemahan, h. 553.
[11]M. Rusdi Khalid, Mengkaji Ilmu-ilmu al-Qur’a>n, (Makassar,Alauddin Universiti
Press,2011), h. 55
[12]Manna>‘ al-Qat}t}a>n, Maba>his| fi
‘Ulu>m al-Qur’a>n di terjemahkan oleh Aunur Rafiq El-Mazni dengan
judul Pengantar Studi Ilmu al-Qur’a>n, (Cet; IX; Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2013), h.152.
[13]Manna>‘ al-Qat}t}a>n, Maba>his| fi
‘Ulu>m al-Qur’a>n di terjemahkan oleh Aunur Rafiq El-Mazni dengan
judul Pengantar Studi Ilmu al-Qur’a>n, h. 152.
[14]Manna>‘ al-Qat}t}a>n, Maba>his fi
‘Ulu>m al-Qur’a>n di terjemahkan oleh Aunur Rafiq El-Mazni dengan
judul Pengantar Studi Ilmu al-Qur’a>n , h. 154.
[15]Manna>‘ al-Qat}t}a>n, Maba>his| fi
‘Ulu>m al-Qur’a>n di terjemahkan oleh Aunur Rafiq El-Mazni dengan
judul Pengantar Studi Ilmu al-Qur’a>n, h. 156.
[16]Manna>‘ al-Qat}t}a>n, Maba>his| fi
‘Ulu>m al-Qur’a>n di terjemahkan oleh Aunur Rafiq El-Mazni dengan
judul Pengantar Studi Ilmu al-Qur’a>n, h. 156.
[17]Jala>l al-Di>n, al-Itqa>n fi
‘Ulu>m al-Qur’a>n, Juz I, (Bairut: al-Maktabah al-‘As}riyah, 1988),
h. 164.
[18]Subhi al-S}alih, Maba>his fi Ulu>m al-Qur’a>n,
h. 79.
[19]Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’a>n,
(Cet. I; Yogyakarta: Forum Kajian Budaya dan Agama, 2001), h. 151.
[20]Kamaluddin Marzuki, ‘Ulu>m al-Qur’a>n,
(Cet. II; Bandung: rosda karya, 1994), h. 67.
[21]Jala>l al-Di>n al-Suyut}i>, al-Itqa>n
fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n, h. 164.
[22]Muhammad Aly Asih al-S}abuni>, al-Tibya>n
fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n alih bahasa oleh Moch. Chudlori Umar dengan
judul Pengantar Study al-Qur’a>n (al-Tibya>n), h. 86.
[25]Jala>l al-Di>n Abd al-Rahma>n
al-Suyu>t}i>, al-Itqa>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n, (Bairut:
Al-Maktabah al-As}riyah), h. 173.
[26]Departemen Agama RI, al-Qur’a>n
dan Terjemahan, (Bandung: Syamil Qur’an, 2009), h. 277.
[27]Said Agil Husin Al-Munawar, al-Qur’a>n
(Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki), (Cet. III; Jakarta: Ciputat Press,
2003), h. 17.
[28]Muhammad Aly Asih al-S}abuni>, al-Tibya>n
fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n alih bahasa oleh Moch. Chudlori Umar dengan
judul Pengantar Study al-Qur’a>n (al-Tibya>n), (Jakarta:
Percetakan Offset, 1982), h. 93.
[29]Jala>l al-Di>n Abd al-Rahma>n
al-Suyu>t}i>, al-Itqa>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n, h. 168.
[30]Subhi al-S}alih, Maba>his fi Ulu>m al-Qur’a>n
h. 85.
[31]T.M Hasbi al-S}iddi>qi>, Sejarah dan
Pengantar Ilmu al-Qur’a>n/Tafsir, (Cet. XIV; Jakarta: PT Bulan Bintang,
1992), h. 84.
[32]Manna>‘ al-Qat}t}a>n, Maba>his| fi
‘Ulu>m al-Qur’a>n di terjemahkan oleh Aunur Rafiq El-Mazni dengan
judul Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’a>n, h. 158-160.
[33]Said Agil Husin al-Munawar, al-Qur’a>n
(Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki), h. 19.
[34]Muhammad Aly Asih al-S}abuni>, al-Tibya>n
fi ‘Ulu>m Al-Qur’a>n alih bahasa oleh Moch. Chudlori Umar dengan
judul Pengantar Study al-Qur’a>n (al-Tibya>n), h. 94.
[35]Rusydi Khalid, Mengkaji
Ilmu-ilmu al-Qur’a>n, h. 67.
[36]Subhi al-S}alih, Maba>his fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n,
h. 89-90.
[37]Manna>‘ al-Qat}t}a>n, Maba>his fi
‘Ulu>m al-Qur’a>n di terjemahkan oleh Aunur Rafiq El-Mazni dengan
judul Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, h. 163.
[38]Muhammad Aly Asih al-S}abuni>, al-Tibya>n
fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n alih bahasa oleh Moch. Chudlori Umar dengan
judul Pengantar Study al-Qur’a>n (al-Tibya>n), h. 95.
[39]Subhi al-S}alih,
Maba>his fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n, h. 90-92
[40]Manna>‘ al-Qat}t}a>n, Maba>his| fi
‘Ulu>m al-Qur’a>n di terjemahkan oleh Halimuddin dengan judul Pembahasan Ilmu al-Qur’a>n (Cet. I; Jakarta: PT
Rineka Cipta, 1993) ,h. 149.
[41]Manna>‘ al-Qat}t}a>n, Maba>his fi
Ulu>m al-Qur’a>n, h. 169
[42]Said
Agil Husin al-Munawar, al-Qur’a>n (Membangun Tradisi Kesalehan
Hakiki)., h. 21-22.
[43]Subhi al-S}alih, Maba>his fi Ulu>m al-Qur’a>n,
h. 105.
[44]Subhi al-S}alih, Maba>his fi Ulu>m al-Qur’a>n,
h. 105.
[45]Subhi al-S}alih, Maba>his fi Ulu>m al-Qur’a>n,
h. 105.
[46]Said Agil Husin al-Munawar, al-Qur’a>n
(Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki), h. 22.
[47]Subhi> al-S}a>lih, Maba>his fi Ulu>m
Al-Qur’an, h. 106.
[48]Al-Qur’a>n Al-Kari>m, Surat al-Hijr: 9,
h. 262.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan di atas, dapat diambil kesimpulan yaitu:
1.
Jam‘ al-Qur’a>n
adalah usaha penghimpunan dan pemeliharaan al-Qur’a>n yang meliputi
penghafalan, serta penulisan ayat-ayat atau surat-surat al-Qur’a>n.
2.
Pengumpulan
al-Qur’a>n dilakukan dalam tiga periode. Periode Nabi, periode Abu>
Bakar, dan periode Us|ma>n bin ‘Affa>n.
a. Jam’u al-Qur’a>n pada masa Rasu>lulla>h
saw. dikategorikan menjadi dua upaya untuk penghafalan dan penulisan. Penulisan
al-Qur’a>n pada masa ini dilakukan untuk mencatat dan menulis setiap wahyu al-Qur’a>n
yang diturunkan kepada Nabi dengan menerbitkan ayat-ayatnya dalam surat-surat
tertentu sesuai dengan petunjuk Nabi. Ayat-ayat tersebut ditulis secara
terpisah-pisah dan tidak dikumpulkan dalam satu mushaf disebabkan
beberapa kemungkinan: pertama, tidak adanya faktor pendorong untuk membukukan al-Qur’a>n
menjadi satu mushaf. Mengingat Rasu>lulla>h masih hidup disamping
banyaknya sahabat menghafal al-Qur’a>n, dan sama sekali tidak ada
unsur-unsur yang diduga akan mengganggu kelestarian al-Qur’a>n, Kedua, al-Qur’a>n
diturunkan secara beransur-ansur, maka suatu hal yang logis bila al-Qur’a>n
baru bisa dibukukan dalam satu mushaf setelah Nabi saw. wafat. Ketiga,
selama proses turunnya al-Qur’a>n masih terdapat kemungkinan adanya
ayat-ayat al-Qur’a>n yang Mansukh.
b. Penulisan al-Qur’a>n pada masa
Khalifah Abu> Bakar dilakukan untuk menghimpun dan menyalin kembali
catatan-catatan serta tulisan-tulisan al-Qur’a>n yang ada menjadi satu mushaf,
dengan tertib surat-suratnya menurut urutan turunnya wahyu. Faktor pendorongnya
adalah kekhwatiran akan adanya kemungkinan hilannya sesuatu dari al-Qur’a>n
disebabkan banyaknya para sahabat penghafal yang gugur di medan perang. Adapun
karakteristik penulisan al-Qur’a>n pada masa ini adalah: pertama, seluruh
ayat al-Qur’a>n dikumpulkan dan ditulis dalam satu mushaf berdasarkan
penelitian yang cermat dan saksama. Kedua, peniadaan ayat-ayat al-Qur’a>n
yang telah Mansukh. Ketiga, seluruh ayat yang ada telah diakui
kemutawatirannya. Keempat, dialek Arab yang dipakai dalam pembukuan ini
berjumlah 7 (qara’at) sebagaimana yang ditulis pada kulit unta pada masa Rasu>lulla>h.
c. Penulisan al-Qur’a>n pada masa Us|ma>n
Ibn ’Affa>n dilakukan untuk menyalin mushaf yang tertulis pada masa
Abu> Bakar menjadi beberapa mushaf dengan tertib ayat maupun
surat-suratnya sebagaimana yang ada sekarang. Faktor pendorong yang disebabkan
oleh adanya perbedaan qira’at al-Qur’a>n diantara mereka. Adapun
karakteristik penulisan al-Qur’a>n pada masa ini yaitu: Pertama, ayat-ayat al-Qur’a>n
yang ditulis seluruhnya bedasarkan riwayat yang mutawatir. Kedua, tidak memuat
ayat-ayat yang Mansukh. Ketiga, surat-surat maupun ayat-ayatnya telah
disusun dengan tertib sebagaimana al-Qur’a>n yang kita kenal sekarang. Tidak
seperti mushaf al-Qur’a>n yang ditulis pada masa Abu> Bakar yang
hanya disusun menurut tertib ayat, sementara surat-suratnya disusun menurut
urutan turunnya wahyu. Keempat, tidak memuat sesuatu yang tergolong al-Qur’a>n,
seperti yang ditulis sebagian para sahabat Nabi dalam masing-masing mushafnya.
Sebagai penjelasan atau keterangan terhadap makna ayat-ayat tertentu. Kelima,
dialek yang dipakai dalam mushaf ini hanya dialek Quraisy saja. Dengan
alasan bahwa al-Qur’a>n diturunkan dengan bahasa Arab Quraisy sekalipun pada
mulanya diizinkan membacanya dengan menggunakan dialek lain.
B.
Saran-saran
Demikianlah
Penyusunan makalah ini disusun, sebagai cacatan penutup bahwa pemakalah
menyadari akan banyaknya kekurangan dan kelemahan pada karya tulis ini, olehnya
itu pemakalah berharap agar ada kritik, saran atau masukan yang sifatnya
membangun untuk perbaikan makalah ini. Mohon maaf jika sekiranya apa yang
disajikan oleh pemakalah, terdapat kekurangan dan kekeliruan didalamnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur’a>n
al-Kari>m, 2009.
Amal,
Taufiq Adnan, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’a>n, Cet. I; Yogyakarta:
Forum Kajian Budaya dan Agama, 2001.
Khalid,
Rusydi, Mengkaji Ilmu-ilmu al-Qur’a>n, Cet. I; Makassar: Alauddin
Universty Press, 2011.
Marzuki,
Kamaluddin, ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Cet. II; Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 1994.
Al-Munawar,
Said Agil Husin, al-Qur’a>n (Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki), Cet.
I; Jakarta: Ciputat Press, 2003.
Al-Munawwir, Ahmad Warsan, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, Cet,XIV;
Surabaya; Pustaka Progresif, 1997
Al-Qat}t}a>n,
Manna>’, Maba>his fi Ulu>m al-Qur’a>n Diterjemahkan Oleh
Aunur Rafiq El-Mazni dengan judul Pengantar Studi al-Qur’a>n, Cet.
IX; Jakarta: Pustaka al-Kaus|ar, 2013.
----------- , Maba>his fi Ulu>m al-Qur’a>n
diterjemahkan oleh Halimuddin dengan judul Pembahasan Ilmu al-Qur’a>n,
Cet. I; Jakarta: PT Rineka Cipta, 1993.
----------- , Maba<his fi Ulu>m al-Qur’a>n,
Kairo: Maktabah wahibah, 1997
Al-Shabuny,
Muhammad Aly Asih, al-Tibya>n fi Ulu>m al-Qur’a>n alih bahasa
oleh Moch. Chudlori Umar dengan judul Pengantar Study al-Qur’a>n (al-Tibya>n),
Jakarta: Percetakan Offset, 1982.
Al-S}alih, S}ubhi, Maba>his fi
Ulu>m al-Qur’a>n Diterjemahkan oleh Tim Pustaka Firdaus dengan judul Membahas Ilmu-ilmu al-Qur’a>n, Cet,IV;
Jakarta; Pustaka Firdaus, 1993
Al-Siddi>qi>,
Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’a>n/Tafsir, Cet. XIV; Jakarta:
Bulan Bintang, 1992.
Al-Suyut}i>,
Jalaluddin, al-It}qa>n fi Ulu>m al-Qur’a>n, Bairut: Maktabah
Al-‘Ashriyah, 1988.
Syafe’i,
Rachmat, Pengantar Ilmu Tafsir, Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2006.
Al-Zarqa>ni>,
Mana>h al-‘Irfa>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n Juz Awwal, Cet. I;
Bairut-Libanon, 1995.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar