Minggu, 08 Maret 2015

ALIRAN MURJI'AH



Makalah
MURJI’AH DAN AJARAN-AJARANNYA





Disampaikan pada Seminar Perkuliahan
Mata Kuliah Pemikiran Dalam Islam Pasca Sarjana (S2)
UIN Alauddin Makassar
Semester I TahunAkademik 2014

Oleh :
Baiq Raudatussolihah
NIM: 80400214002

DosenPemandu:
Prof. Dr. H. Darussalam Syamsuddin, M.Ag.
Prof. Dr. H. Muh. Nasir Mahmud, M.A.




PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR
2014

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Babak kehidupan baru dimulai setelah berakhirnya pengutusan pembimbing pada pribadi agung Muhammad saw., yaitu babak penjagaan, pelestarian dan interpretasi. Segala kemampuan dan jerih payah umat Isla>m setelahnya mulai dikerahkan untuk melestarikan setiap ajaran-ajaran yang telah dibumikan oleh Rasu>lulla>h selama hidupnya, penafsiran berdasarkan tes dan konteks kian mewarnai perjalanan intelektual. Interpretasi ini tidak hanya dibatasi pada wilayah ritual keagamaan, melainkan telah merambah hingga kepersoalan kehidupan kemasyarakatan, entah itu ekonomi, pemerintahan, budaya dan lain-lain.
Setiap individu memiliki basis pengetahuan dan kepentingan yang berbeda maka hasil interpretasi terhadap sesuatu pun niscaya berbeda. Dan jelas bahwa setiap individu dan masyarakat hanya akan berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Fenomena ini kemudian dapat dibuktikan secara empiris dalam kehidupan sehari-hari. Konsekuensi logis dari keadaan ini ialah lahirnya beragam komunitas yang antara satu dengan yang lainnya berbeda-beda. Kenyataan ini pun rupanya kontras dalam kehidupan beragama, demikian halnya dengan umat Isla>m. Perbedaan-perbedaan ini sedikit banyaknya terkait dengan apa yang telah penulis kemukakan sebelumnya.
Terlepas dari pro kontra antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lainnya, penulis menganggap bahwa kenyataan ini tetap menarik untuk dijadikan sebagai objek kajian guna menguak misteri yang ada dibaliknya. Namun, dalam pembahasan makalah singkat ini, penulis hanya memfokuskan pada aliran Murji’ah saja karena aliran-aliran yang lainnya akan dibahas oleh pemakalah berikutnya.
B.   Rumusan Masalah
Agar terhindar dari kesalah pengertian dalam memahami isi makalah ini, maka dianggap perlu untuk menyusun rumusan dan batasan masalah sebagai acuan pembahasan, berikut yang penulis maksudkan :
1.      Apa pengertian Murji’ah?
2.      Bagaimana latar belakang sejarah terbentuknya aliran Murji’ah?
3.      Bagaiman corak pemikiran dari aliran Murji’ah tersebut?
4.      Bagaiman sekte-sekte aliran Murji’ah tersebut?

C.   Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1.      Untuk mengetahui pengertian dari aliran Murji’ah.
2.      Untuk mengetahui sejarah munculnya aliran Murji’ah.
3.      Untuk mengetahui corak pemikiran aliran Murji’ah.
4.      Untuk mengetahui sekte-sekte aliran Murji’ah.
  


BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Al-Murji’ah
Kata al-Murji’ah adalah bentuk isim fa’il dari ارجى – يرجى – ارجاء - مرجئة  yang berarti memberi harapan, menunda (menangguhkan) dan mengesampingkan.[1] Jadi, secara etimologi Murji’ah berarti memberi pengharapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah SWT>. selain itu juga Murji’ah berarti pula meletakkan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dari iman. Oleh karena itu Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa, yaitu, Ali dan Muawwiyah, serta setiap pasukannya pada hari kiamat kelak.[2]
Al-Murji’ah dengan arti menunda (menangguhkan) maksudnya ialah, bahwa dalam menghadapi sahabat-sahabat yang bertentangan, mereka tidak mengeluarkan pendapat siapa yang bersalah. Sikap mereka adalah menunda dan menangguhkan penyelesain persoalan tersebut di akhirat kelak di hadapan Allah SWT. Al-Murji’ah dengan arti memberi harapan, maksudnya ialah, bahwa orang-orang Islam yang berbuat dosa besar tidak menyebabkan mereka menjadi kafir. Mereka tetap mukmin dan tetap mendapatkan rahmat Allah meskipun mereka harus masuk lebih dahulu ke dalam neraka karena perbuatan dosanya. Nama al-Murji’ah diberikan untuk golongan ini karena mereka memberi pengharapan bagi orang yang berdosa besar untuk masuk surga. Sedangkan al-Murji’ah dengan arti mengesampingkan, maksudnya ialah bahwa golongan ini menganggap yang terpenting dan diutamakan adalah iman, sedang amal perbuatan hanya merupakan persoalan yang kedua, yang menentukan mukmin atau kafirnya seseorang adalah imannya bukan perbuatannya. Dengan demikian perbuatan manusia itu mendapatkan kedudukan  yang kemudian dari iman. Dengan kata lain perbuatan itu berada di belakang setelah iman dalam pengertian kurang penting atau dikesampingkan.[3]
Oleh karena itu, ada pendapat yang mengatakan bahwa nama Murji’ah diberikan untuk golongan ini, bukan karena mereka menunda penentuan hukum terhadap orang Islam yang berdosa besar kepada Allah di hari perhitungan kelak dan bukan pula karena mereka memandang perbuatan mengambil tempat dari iman, tetapi karena mereka memberi pengharapan bagi orang yang berdosa besar untuk masuk surga.[4] Penamaan tersebut diilhami oleh ayat al-Qur’a>n surat al-Taubah:
šcrãyz#uäur tböqy_öãB ͐öDL{ «!$# $¨BÎ) öNåkæ5Éjyèム$¨BÎ)ur Ü>qçGtƒ öNÍköŽn=tã 3 ª!$#ur íOŠÎ=tæ ÒOŠÅ3ym ÇÊÉÏÈ  
Terjemahannya:
“Dan ada (pula) orang-orang lain yang ditangguhkan sampai ada keputusan Allah; mungkin Allah akan mengazab mereka dan mungkin Allah akan menerima taubat mereka. Allah Maha Mengetahui Maha Bijaksana.”[5]
Jadi, kata al-Murji’ah berarti memberi harapan bagi orang-orang Islam yang melakukan dosa besar untuk mendapatkan surga di akhirat kelak, sesuai dengan taubatnya masing-masing.
B.   Sejarah Munculnya Aliran Murji’ah
Murji'ah adalah sebuah firqah atau aliran yang muncul di tengah-tengah perdebatan politik (kekhalifahan) antara Ali> bin Abi> T{a>lib dengan Mu'awiyah bin Abi> S}afya>n. Golongan Murji'ah tampil sebagai kelompok yang mengambil sikap netral  yang tidak berpihak kepada salah satu diantara keduanya dan tidak pula setuju dengan khawarij yang mengkafirkan keduanya.[6] Murji'ah merupakan golongan yang pertama mendukung Bani Umayyah, atas dasar agama, meskipun mereka tidak terlalu menyukai Bani Umayyah karena pentingnya ketertiban.[7] Murji'ah memang sengaja dibentuk oleh orang Bani Umayyah untuk mengimbangi khawarij dan Syi'ah.[8] Sebenarnya pandangan-pandangan kaum Murji'ah itu ada pada zaman sahabat pada masa awal seperti ketidak berpihakan para sahabat pada pertikaian politik yang terjadi di akhir masa pemerintahan Us|ma>n bin Affa>n. Seperti sikap yang diambil oleh  Abdulla>h ibn Umar, Abi Bakrah, Imran ibn al-Husain. [9]
Adapun teori-teori yang berkembang mengenai asal-usul kemunculan Murj’iah. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan  irja’ atau arja’a dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan  menjamin persatuan dan kesatuan umat Isla>m ketika terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan untuk menghindari sektarianisme. Murji’ah, baik sebagai kelompok politik maupun teologis, diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculan Syiah dan Khawarij. Murjiah pada saat itu merupakan musuh berat khawarij.[10]
Teori lain juga mengatakan bahwa gagasan irja yang merupakan basis dari Murji’ah muncul pertama kali sebagai gerakan politik  yang diperlihatkan oleh cucu Ali> ibn Abi> T}a>lib, al-Hasan Bin Muhammad al-Halafiyah sekitar tahun 695 M. Watt, pendiri teori ini menceritakan bahwa 20 tahun setelah  kematian Muawiyah sekitar tahun 680 M, dunia Isla>m dikoyak oleh pertikaian sipil, yaitu al-Mukhtar membawa faham Syiah ke Kuffah dari tahun 685-687 M. Ibn Zubaer mengklaim kekhalifahan di Makkah sehingga berada dibawah  kekuasaan Islam.[11]
Sebagai respon dari keadaan ini maka munculah gagasan irja (penagguhan), gagasan ini pertama kali digunakan pada tahun 695 M. oleh cucu Al>i ibn Abi> T}a>lib dalam sebuah surat pendeknya, dalam isi surat itu al-Hasan menunjukkan sikap politiknya dengan mengatakan: “kita mengakui Abu> Bakar dan Umar, tetapi menangguhkan keputusan atas persoalan yang terjadi antara Us|ma>n, Ali> dan Zubaer (seseorang tokoh pembelot ke Makkah)”. Dengan sikap politik seperti ini al-Hasan mencoba menanggulangi perpecahan Umat Islam. Ia kemudian menolak berdampingan dengan kelompok Syiah revolusioner yang terlampau mengagumi Ali> dan para pengikutnya serta menjauhkan diri dari Khawarij yang menolak mengakui kekhalifahan Muawiyah dengan alasan Muawiyah adalah keturunan si pendosa Us|ma>n.[12]
Teori yang ketiga, menceritakan bahwa ketika terjadi perseteruan antara Ali> dan Muawiyah, dilakukan tahkim (arbitrase) atas usulan Amr bin Ash, seorang kaki tangan Muawiyah. Kelompok Ali> terpecah menjadi dua kubu, yaitu yang pro dan yang kontra. Kelompok kontra akhirnya menyatakan keluar dari Ali>, yaitu kubu Khawarij memandang bahwa tahkim itu bertentangan dengan al-Qur’a>n, dalam pengertian tidak bertahkim berdasarkan hukum Alla>h swt. oleh karena itu, Khawarij berpendapat bahwa melakukan tahkim itu dosa besar dan dihukum kafir, sama seperti perbuatan dosa besar lain, seperti zina, riba’, membunuh tanpa alasan yang benar, durhaka kepada orang tua, serta memfitnah wanita baik-baik. Pendapat tersebut ditentang kelompok sahabat yang kemudian disebut Murji’ah dengan mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir,sementara dosanya diserahkan kepada Allah swt. apakah mengampuninya atau tidak.[13]
Golongan Murji’ah tidak mau mengkafirkan orang yang telah masuk Islam, sekalipun orang tersebut z}alim, berbuat maksiat dan lain-lain, sebab mereka mempunyai keyakinan bahwa perbuatan dosa sebesar apapun tidak mempengaruhi keimanan seseorang selama orang tersebut masih muslim, kecuali bila orang tesebut telah keluar dari Islam (Murtad) maka telah berhukum kafir. Aliran Murji’ah juga menganggap bahwa orang yang lahirnya terlihat atau menampakkan kekufuran, namun bila batinnya tidak, maka orang tersebut tidak dapat dihukum kafir, sebab penilaian kafir atau tidaknya seseorang itu tidak dilihat dari segi lahirnya, namun bergantung pada batinnya. Sebab ketentuan ada pada i’tiqad seseorang dan bukan segi lahiriyahnya.[14]
Aliran Murji’ah ini muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal itu dilakukan oleh aliran khawarij. Kaum Murji’ah muncul adanya pertentangan politik dalam Islam. Dalam suasana demikian, kaum Murji’ah muncul dengan gaya dan corak tersendiri. Mereka bersikap netral, tidak berkomentar dalam praktek kafir atau tidak bagi golongan yang bertentangan. Mereka menangguhkan penilaian terhadap orang–orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu dihadapan Tuhan, karena Tuhan-lah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar itu dianggap mukmin dihadapan mereka. Orang mukmin yang melakukan dosa besar itu dianggap tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya. Dengan kata lain bahwa orang mukmin sekalipun melakukan dosa besar masih tetap mengucapkan dua kali masyahadat yang menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu orang tersebut masih tetap mukmin, bukan kafir. Alasan Murji’ah  menganggapnya tetap mukmin, sebab orang Islam yang berbuat dosa besar tetap mengakui bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan Nabi Muhammad adalah Rasul-Nya.
C.   Pokok-pokok Ajaran Murji’ah
Ajaran pokok  Murji’ah  pada dasarnya bersumber pada gagasan atau doktrin irja atau arja’a yang diaplikasikan dalam banyak persoalan, baik persoalan politik maupun persoalan teologis. Di dalam politik doktrin Irja diimplementasikan dengan sikap politik netral dan  nonblok yang selalu diekspresikan dengan sikap diam, itulah sebabnya Murji’ah dikenal sebagai The Quietists (kelompok bungkam), sikap ini akhirnya berimplikasi sangat jauh sehingga membuat Murji’ah selalu diam dalam persoalan politik.
Adapun dibidang teologi, doktrin Irja dikembangkan Murj’iah ketika menanggapi persoalan-persoalan yang ditanggapinya semakin komplek sehingga mencakup iman, kufur, dosa besar dan ringan, dan pengampunan atas dosa besar.
Berkaitan dengan doktrin Murji’ah, W. Montgomeri Watt merincikan sebagai berikut :
a.       Penangguhan keputusan terhadap Ali> dan Muawiyah sehingga Allah memutuskan nanti kelak di Akhirat.
b.      Menangguhkan Ali> untuk menduduki ranking keempat dalam peringkat al-khulafa> al-Ra>syidu>n.
c.       Memberi harapan terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
d.      Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran para spektis dan empiris dari kalangan Helenis. [15]
Masih berkaitan dengan doktrin teologi Murji’ah, Harun Nasution menyebutkan empat ajaran pokoknya yaitu:
a.       Menunda hukuman atas Ali>, Muawiyah, Amr Bin Ash, dan Abu Musa yang terlibat tahkim dan menyerahkan kepada Alla>h di hari kiamat nanti.
b.      Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang Muslim yang berdosa besar.
c.       Meletakan pentingnya iman dari pada Amal.
d.      Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah. [16]
Sementara Abu> A’la al-Maududi mengatakan dua doktrin ajaran Murji’ah yaitu:
a.       Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasul-Nya saja, adapun adanya perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya Iman. Berdasarkan hal ini, seorang tetaplah mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang difardukan dan melakukan dosa besar.
b.      Dasar keselamatan adalah Iman semata. Selama masih ada Iman di hati maksiat tidak mendatangkan mudarat ataupun gangguan atas seseorang. Untuk mendapatkan pengampunan manusia, manusia cukup menjauhkan dari syirik dan mati dalam akidah tauhid. [17]
D.  Sekte-sekte Al-Murji’ah
Munculnya aliran al-Murji’ah sangat menguntungkan bagi tegaknya Bani Umayyah. Dengan alasan bahwa bagi orang mukmin yang berdosa besar, tidak menyebabkan kafir, memberikan peluang bagi para penguasa untuk tidak berkecil hati terhadap perbuatan-perbuatan dosanya. Di sisi lain mereka tidak merasa dibenci atau dikucilkan oleh masyarakat karena telah memiliki landasan keagamaan yang kuat, yaitu dasar-dasar teologis yang dicetuskan oleh kaum Murji’ah.[18]
Secara politis, berarti penguasa Bani Umayyah tidak putus kedudukannya sebagai anggota masyarakat karena melakukan sesuatu yang oleh sementara orang Islam dianggap dosa. Konsekuensinya pendapat demikian ialah bahwa pemberontakan terhadap Bani Umayyah tidak sah menurut hukum. Dengan demikian, maka kaum Murji’ah merupakan golongan pertama dan utama yang mendukung Bani Umayyah atas dasar agama.[19]
Dengan topangan dan lindungan penguasa Bani Umayyah yang memadai, berkembanglah paham Murji’ah dan bermuncullah tokoh-tokoh mutakallimin yang mempunyai corak pemikiran yang berbeda satu sama lain. Hal ini mendorong lahirnya sekte-sekte yang jumlahnya tidak begitu jelas karena masing-masing para ahli berbeda pendapatnya. Menurut al-Baghdadi dalam bukunya M. Nurdin dan Afifi membagi mereka ke dalam tiga golongan, yaitu al-Murji’ah yang dipengaruhi ajaran al-Jabariyah, al-Murji’ah yang dipengaruhi ajaran al-Qadariyah, dan al-Murji’ah yang tidak dipengaruhi oleh keduanya. Sedangkan al-Syahrastani membaginya menjadi tiga sekte, yaitu al-Murji’ah al-Khawarij, al-Murji’ah al-Jabariyah, dan al-Murji’ah asli.[20]
Harun Nasution secara garis besar mengklasifikasikan Murji’ah menjadi dua sekte yaitu golongan moderat dan golongan ekstrim. Murji’ah moderat disebut juga al-Murji’ah al-Sunnah yang pada umumnya terdiri dari fuqaha> dan muhaddis|i>n. mereka berpendapat bahwa pendosa besar tetap mukmin., tidak kafir,tidak pula kekal di dalam Neraka. Mereka disiksa sebesar dosanya, dan bila dia di ampuni oleh Allah maka dia tidak masuk neraka sama sekali. Mereka dihukum di neraka sesuai dengan dosa yang diperbuatnya, ini menunjukkan kaum Murji’ah moderat masih mengakui keberadaan amal perbuatan. Dengan kata lain, mereka masih mengakui pentingnya amal perbuatan manusia, meskipun bukan merupakan bagian dari iman. Penggegas pendirian ini adalah al-Hasan bin Muhammad, Ali> bin Abi> T}alib, Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan beberapa Ahli Hadis| dan fuqaha. Dalam hubungan dengan hal ini, Abu Hanifah memberi definisi iman sebagai berikut: iman adalah pengetahuan dan pengakuan tentang Tuhan dan Rasul-Rasul-Nya serta apa yang datang darinya secara keseluruhan dan tidak dalam perincian. Iman  ini tidak bertambah dan tidak pula berkurang, tak ada perbedaan manusia dalam hal iman.[21]
Sedangkan golongan al-Murji’ah yang ekstrim adalah mereka yang secara berlebihan mengadakan pemisahan antara iman dan amal perbuatan. Mereka menghargai iman terlalu berlebihan dan merendahkan fungsi amal perbuatan tanpa perhitungan sama sekali. Amal perbuatan tidak ada pengaruhnya terhadap iman. Iman itu hanya berkaitan dengan Tuhan dan hanya Tuhan yang mengetahuinya. Oleh karena itu, selagi seseorang beriman, perbuatan apapun tidak dapat merusak imannya sehingga tidak akan menyebabkan kafirnya seseorang.[22]
Adapun yang termasuk golongan al-Murji’ah ekstrem, diantaranya sebagai berikut:
1.      Al-Yu>nusiyyah
Adalah kelompok yang mengikuti ajaran Yu>nus ibn Aun al-Numairi, menurut Yu>nus, melakukan maksiat atau pekerjaan-pekerjaan jahat tidaklah merusak i>ma>n seseorang.[23]
2.      Al-Ubaidiyyah
Kelompok ini adalah kelompok yang mengikuti ajaran Ubaid al-Mukta'ib, berpendapat bahwa jika seorang mati dalam keadaan iman, dosa-dosa, dan perbuatan jahat yang dikerjakannya tidak akan merugikan bagi yang bersangkutan. Ditegaskan pula oleh Muqatil bin Sulaiman bahwa perbuatan jahat banyak atau sedikit, tidak akan merusak iman seseorang, dan sebaliknya pula perbuatan baik tidak akan merubah kedudukan seorang musyrik atau polities. [24]
3.      Al-Ghassaniyyah
Kelompok ini adalah mereka yang mengikuti ajaran Ghassan al-Kuffi. Menurut Ghassan, iman adalah pengetahuan (makrifat), kepada Allah dan Rasul-Nya, mengakui dengan lisan akan kebenaran yang diturunkan oleh Allah, namun secara global, tidak perlu secara rinci. I>man, menurutnya bersifat statis (tidak bertambah dan tidak berkurang).[25]

4.      Al-Jahmiyah
Golongan al-Jahmiyah adalah para pengikut Jahm bin S}afwan. Mereka berpendapat bahwa orang Isla>m yang percaya kepada Tuhan tidak akan menjadi kafir meskipun menyatakan kekufuran secara lisan karena iman dan kufur letaknya dalam hati bukan dalam bagian tubuh yang lain dalam tubuh manusia. Bahkan orang demikian juga tidak menjadi kafir meskipun dia menyembah berhala, menjalankan ajaran Yahudi atau Kristen dengan menyembah salib, menyatakan dirinya penganut paham trinitas, dan kemudian mati. Di mata Tuhan orang seperti itu tetap mukmin yang sempurna imannya.[26]
5.      Al-Hasaniyah
Al-Hasaniyah menyebutkan bahwa jika seorang mengatakan, “saya tahu Tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini,” orang tersebut tetap mukmin, bukan kafir. Begitu pula orang yang mengatakan, “saya tahu Tuhan mewajibkan naik haji ke ka’bah, tetapi saya tidak tahu apakah ka’bah di India atau di tempat lain”.[27]
6.      Al-S}alihiyyah
Kelompok yang mengikuti ajaran Abu al-Hasan al-S{alihi. Menurut al-s}alihi iman adalah semata-mata pengenalan kepada Allah dan mengakui kepada Allah sebagai pencipta alam semesta. Sedangkan kekafiran adalah ketidaktahuan (jahil) terhadap Allah. Dalam pengertian mereka s}ala>t tidaklah merupakan ibadat kepada Allah, karena yang disebut ibadah adalah iman kepada-Nya dalam arti mengetahui Tuhan. Lebih lanjut al-Bagdadi menjelaskan bahwa dalam pendapat al-S}alihiah , s}alat, puasa, z|akat dan haji hanya menggambarkan kepatuhan dan tidak merupakan ibadah kepada Allah, yang disebut ibadah hanyalah iman.[28]
Menyikapi ajaran Murji’ah yang ekstrim itu, menurut Harun Nasution ada bahayanya karena dapat membawa pada moral latitude, sikap memperlemah ikatan moral masyarakat yang bersifat permissive, masyarakat yang dapat mentolelir penyimpangan dari norma-norma akhlak yang berlaku. Karena yang dipentingkan hanyalah iman, norma akhlak bisa dipandang kurang penting dan diabaikan oleh orang-orang yang menganut faham demikian. Oleh karena itu, nama Murji’ah pada akhirnya mengandung arti tidak baik dan tidak disenangi oleh mayoritas umat islam.[29]
Pendapat-pendapat ekstrem yang telah dikemukakan di atas timbul dari pengertian bahwa amal perbuatan tidak sepenting iman. Kemudian meningkat pada pemahaman bahwa hanya imanlah yang penting dan yang menentukan mukmin atau kafir. Iman letaknya di hati dan tidak bisa dipengaruhi oleh amal perbuatan manusia, dengan demikian perbuatan dosa dan kemaksiatan tidak mempengaruhi iman seseorang, bahkan ucapan maupun perbuatan yang dilakukan manusia bagaimanapun bentuknya tidak merusak iman.



[1]Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Cet. XIV; Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 480.
[2] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Cet. III; Bandung: Pustaka Setia, 2014), h. 70.
[3]Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran Islam (Teologi Ilmu Kalam), (Cet. II; Jakarta: Amzah, 2014), h. 24.
[4]Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 2013), h. 26.
[5]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: Syam Al-Qur’an, 2009), h. 203.
[6]Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam,  (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994) h. 303.
[7]W. Montgomery Watt,Teology and Philosophy diterjemahkan oleh Umar Basalim dengan judul  Pemikiran Teologi dan Filsafat islam (Cet. !; Jakarta: P3M, 1987),h. 42
                [8]A.Hasymy, Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta: Bulan Bintang 1979), H.188
[9]Ahman Amin, Duha Al-Islam, juz III (cet. VIII, tt.d),h. 280.
[10] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, h. 71.
[11] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, h. 71.
[12]Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, h. 71.
[13]Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, h. 72.
[14]M. Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran Islam, h. 26.
[15]Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, h. 73.
[16]Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa Perbadingan, h. 27.
[17]Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, h. 73.
[18]M. Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran Islam, h. 27.
[19] W. Montgomery Watt,Teology and Philosophy diterjemahkan oleh Umar Basalim dengan judul  Pemikiran Teologi dan Filsafat islam, h. 42
[20]M. Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran Islam, h. 27.
[21]Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran,Sejarah Analisa Perbandingan, h. 26-27.
[22]M. Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran Islam, h. 28-29.
[23]Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, h. 28.
[24]Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, h. 26.
[25]M. Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran Islam, h. 30.
[26]Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan,  h. 28.
[27]Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan,  h. 29.
[28]Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 28.

BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      Al-Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa, yaitu Ali dan Muawiyah serta pasukannya pada hari kiamat kelak.
2.      Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul kemunculan Murji’ah. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan irja’ atau arja’a dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Isla>m ketika terjadi pertikaian politik dan untuk menghindari sektarianisme. Teori lain mengatakan bahwa gagasan irja’ yang merupakan basis doktrin Murji’ah muncul pertama kali sebagai gerakan politik yang diperlihatkan oleh cucu Ali> bin Abi> T}a>lib, al-Hasan bin Muhammad al-Hanafiyah, sekitar tahun 695. Teori lain menceritakan bahwa ketika terjadi perseteruan antara Ali dan Muawiyah, dilakukan tahkim (arbitrase) atas usulan Amr bin Ash, seorang kaki tangan Muawiyah. Kelompok Ali terpecah menjadi dua kubu, yaitu yang pro dan yang kontra. Kelompok kontra akhirnya menyatakan keluar dari Ali, yaitu kubu khawarij memandang bahwa tahkim itu bertentangan dengan al-Qur’a>n, dalam pengertian tidak bertahkim berdasarkan hukum Allah swt., oleh karena itu, Khawarij berpendapat bahwa melakukan tahkim itu dosa besar dan dihukum kafir, sama seperti perbuatan dosa besar lain, seperti zina, riba’, membunuh tanpa alasan yang benar, durhaka kepada orang tua, serta memfitnah wanita baik-baik. Pendapat tersebut ditentang kelompok sahabat yang kemudian disebut Murji’ah dengan mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, sementara dosanya diserahkan kepada Allah swt. apakah mengampuninya atau tidak.
3.      Doktri-doktrin pokok Murji’ah
a.       Penangguhan keputusan terhadap Ali> dan Muawiyah hingga Allah swt. memutuskannya di akhirat kelak.
b.      Penangguhan Ali> untuk menduduki ranking keempat dalam peringkat al-Khulafa>’ al-Ra>syidu>n.
c.       Pemberian harapan (giving of hope) terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah swt.
d.      Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran (mazhab) para skeptic dan empiris dari kalangan helenis.
4.      Sekte-sekte Murji’ah
Golongan Murji’ah ada yang moderat dan ada yang ekstrim.
Golongan Murji’ah yang moderat berpendapat bahwa pendosa besar tetap mukmin., tidak kafir, tidak pula kekal di dalam Neraka. Mereka disiksa sebesar dosanya, dan bila dia diampuni oleh Allah maka dia tidak masuk neraka sama sekali. Mereka dihukum di neraka sesuai dengan dosa yang diperbuatnya, ini menunjukkan kaum Murji’ah moderat masih mengakui keberadaan amal perbuatan. Dengan kata lain, mereka masih mengakui pentingnya amal perbuatan manusia, meskipun bukan merupakan bagian dari iman.
Dan golongan al-Murji’ah yang ekstrim adalah mereka yang secara berlebihan mengadakan pemisahan antara iman dan amal perbuatan. Mereka menghargai iman terlalu berlebihan dan merendahkan fungsi amal perbuatan tanpa perhitungan sama sekali. Amal perbuatan tidak ada pengaruhnya terhadap iman. Iman itu hanya berkaitan dengan Tuhan dan hanya Tuhan yang mengetahuinya. Oleh karena itu, selagi seseorang beriman, perbuatan apapun tidak dapat merusak i>ma>nnya sehingga tidak akan menyebabkan kafirnya seseorang
B.   Saran-saran
Di dalam penulisan makalah ini, penulis sangat menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan yang sempat terselip pada setiap lembaran didalamnya. Untuk itu, penulis berharap agar para pembaca secara terbuka dapat memberikan masukan dan kritikan serta-merta sebagai perbaikan dan penyempurnaan makalah ini kedepannya. 
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Al-Karim

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: Syam al-Qur’an, 2009.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam,  Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.

Hasymy, A., Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta: Bulan Bintang 1979), H.188

Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Cet. XIV; Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.

Nasution, Harun, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 2013.

Nurdin, Amin dan Abbas, Afifi Fauzi, Sejarah Pemikiran Islam (Teologi Ilmu Kalam), Cet. II; Jakarta: Amzah, 2014.

Rozak, Abdul dan Anwar, Rosihon, Ilmu Kalam, Cet. III; Bandung: Pustaka Setia, 2014.

Watt, W. Montgomery,Teology and Philosophy diterjemahkan oleh Umar Basalim dengan judul  Pemikiran Teologi dan Filsafat islam Cet. I; Jakarta: P3M, 1987.





 

[29]Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 28.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar