Makalah
MURJI’AH
DAN AJARAN-AJARANNYA
Disampaikan pada Seminar Perkuliahan
Mata Kuliah Pemikiran Dalam Islam Pasca Sarjana (S2)
UIN Alauddin Makassar
Semester I TahunAkademik 2014
Oleh :
Baiq
Raudatussolihah
DosenPemandu:
Prof.
Dr. H. Darussalam Syamsuddin, M.Ag.
Prof.
Dr. H. Muh. Nasir Mahmud, M.A.
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR
2014
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Babak kehidupan baru
dimulai setelah berakhirnya pengutusan pembimbing pada pribadi agung Muhammad saw.,
yaitu babak penjagaan, pelestarian dan interpretasi. Segala kemampuan dan jerih
payah umat Isla>m setelahnya mulai dikerahkan untuk melestarikan setiap
ajaran-ajaran yang telah dibumikan oleh Rasu>lulla>h selama hidupnya,
penafsiran berdasarkan tes dan konteks kian mewarnai perjalanan intelektual.
Interpretasi ini tidak hanya dibatasi pada wilayah ritual keagamaan, melainkan
telah merambah hingga kepersoalan kehidupan kemasyarakatan, entah itu ekonomi,
pemerintahan, budaya dan lain-lain.
Setiap individu
memiliki basis pengetahuan dan kepentingan yang berbeda maka hasil interpretasi
terhadap sesuatu pun niscaya berbeda. Dan jelas bahwa setiap individu dan
masyarakat hanya akan berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya.
Fenomena ini kemudian dapat dibuktikan secara empiris dalam kehidupan
sehari-hari. Konsekuensi logis dari keadaan ini ialah lahirnya beragam
komunitas yang antara satu dengan yang lainnya berbeda-beda. Kenyataan ini pun
rupanya kontras dalam kehidupan beragama, demikian halnya dengan umat Isla>m.
Perbedaan-perbedaan ini sedikit banyaknya terkait dengan apa yang telah penulis
kemukakan sebelumnya.
Terlepas dari pro kontra antara
kelompok yang satu dengan kelompok yang lainnya, penulis menganggap bahwa
kenyataan ini tetap menarik untuk dijadikan sebagai objek kajian guna menguak
misteri yang ada dibaliknya. Namun, dalam pembahasan makalah singkat ini,
penulis hanya memfokuskan pada aliran Murji’ah saja karena aliran-aliran yang
lainnya akan dibahas oleh pemakalah berikutnya.
B.
Rumusan
Masalah
Agar
terhindar dari kesalah pengertian dalam memahami isi makalah ini, maka dianggap
perlu untuk menyusun rumusan dan batasan masalah sebagai acuan pembahasan,
berikut yang penulis maksudkan :
1.
Apa pengertian
Murji’ah?
2.
Bagaimana latar
belakang sejarah terbentuknya aliran Murji’ah?
3.
Bagaiman corak
pemikiran dari aliran Murji’ah tersebut?
4.
Bagaiman
sekte-sekte aliran Murji’ah tersebut?
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1.
Untuk
mengetahui pengertian dari aliran Murji’ah.
2.
Untuk
mengetahui sejarah munculnya aliran Murji’ah.
3.
Untuk
mengetahui corak pemikiran aliran Murji’ah.
4.
Untuk mengetahui
sekte-sekte aliran Murji’ah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Al-Murji’ah
Kata
al-Murji’ah adalah bentuk isim fa’il dari ارجى – يرجى – ارجاء
- مرجئة yang berarti memberi harapan, menunda
(menangguhkan) dan mengesampingkan.[1]
Jadi,
secara etimologi Murji’ah berarti memberi pengharapan kepada pelaku dosa besar
untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah SWT>. selain itu juga Murji’ah
berarti pula meletakkan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang
mengemudikan amal dari iman. Oleh karena itu Murji’ah artinya orang yang
menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa, yaitu, Ali dan
Muawwiyah, serta setiap pasukannya pada hari kiamat kelak.[2]
Al-Murji’ah
dengan arti menunda (menangguhkan) maksudnya ialah, bahwa dalam menghadapi
sahabat-sahabat yang bertentangan, mereka tidak mengeluarkan pendapat siapa
yang bersalah. Sikap mereka adalah menunda dan menangguhkan penyelesain
persoalan tersebut di akhirat kelak di hadapan Allah SWT. Al-Murji’ah dengan
arti memberi harapan, maksudnya ialah, bahwa orang-orang Islam yang berbuat
dosa besar tidak menyebabkan mereka menjadi kafir. Mereka tetap mukmin dan
tetap mendapatkan rahmat Allah meskipun mereka harus masuk lebih dahulu ke dalam
neraka karena perbuatan dosanya. Nama al-Murji’ah diberikan untuk golongan ini
karena mereka memberi pengharapan bagi orang yang berdosa besar untuk masuk
surga. Sedangkan al-Murji’ah dengan arti mengesampingkan, maksudnya ialah bahwa
golongan ini menganggap yang terpenting dan diutamakan adalah iman, sedang amal
perbuatan hanya merupakan persoalan yang kedua, yang menentukan mukmin atau
kafirnya seseorang adalah imannya bukan perbuatannya. Dengan demikian perbuatan
manusia itu mendapatkan kedudukan yang
kemudian dari iman. Dengan kata lain perbuatan itu berada di belakang setelah
iman dalam pengertian kurang penting atau dikesampingkan.[3]
Oleh
karena itu, ada pendapat yang mengatakan bahwa nama Murji’ah diberikan untuk
golongan ini, bukan karena mereka menunda penentuan hukum terhadap orang Islam
yang berdosa besar kepada Allah di hari perhitungan kelak dan bukan pula karena
mereka memandang perbuatan mengambil tempat dari iman, tetapi karena mereka
memberi pengharapan bagi orang yang berdosa besar untuk masuk surga.[4] Penamaan tersebut diilhami
oleh ayat al-Qur’a>n surat al-Taubah:
crãyz#uäur tböqy_öãB ÍöDL{ «!$# $¨BÎ)
öNåkæ5Éjyèã
$¨BÎ)ur
Ü>qçGt
öNÍkön=tã 3
ª!$#ur íOÎ=tæ
ÒOÅ3ym
ÇÊÉÏÈ
Terjemahannya:
“Dan ada (pula)
orang-orang lain yang ditangguhkan sampai ada keputusan Allah; mungkin Allah
akan mengazab mereka dan mungkin Allah akan menerima taubat mereka. Allah Maha
Mengetahui Maha Bijaksana.”[5]
Jadi,
kata al-Murji’ah berarti memberi harapan bagi orang-orang Islam yang melakukan
dosa besar untuk mendapatkan surga di akhirat kelak, sesuai dengan taubatnya
masing-masing.
B.
Sejarah
Munculnya Aliran Murji’ah
Murji'ah adalah sebuah firqah atau aliran yang
muncul di tengah-tengah perdebatan politik (kekhalifahan) antara Ali> bin
Abi> T{a>lib dengan Mu'awiyah bin Abi> S}afya>n. Golongan Murji'ah
tampil sebagai kelompok yang mengambil sikap netral yang tidak berpihak kepada salah satu
diantara keduanya dan tidak pula setuju dengan khawarij yang mengkafirkan
keduanya.[6] Murji'ah merupakan golongan
yang pertama mendukung Bani Umayyah, atas dasar agama, meskipun mereka tidak
terlalu menyukai Bani Umayyah karena pentingnya ketertiban.[7] Murji'ah memang sengaja
dibentuk oleh orang Bani Umayyah untuk mengimbangi khawarij dan Syi'ah.[8] Sebenarnya
pandangan-pandangan kaum Murji'ah itu ada pada zaman sahabat pada masa awal
seperti ketidak berpihakan para sahabat pada pertikaian politik yang terjadi di
akhir masa pemerintahan Us|ma>n bin Affa>n. Seperti sikap yang diambil
oleh Abdulla>h ibn Umar, Abi Bakrah,
Imran ibn al-Husain. [9]
Adapun
teori-teori yang berkembang mengenai asal-usul kemunculan Murj’iah. Teori
pertama mengatakan bahwa gagasan irja’
atau arja’a dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Isla>m
ketika terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan untuk menghindari
sektarianisme. Murji’ah, baik sebagai kelompok politik maupun teologis,
diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculan Syiah dan Khawarij. Murjiah pada
saat itu merupakan musuh berat khawarij.[10]
Teori
lain juga mengatakan bahwa gagasan irja yang merupakan basis dari Murji’ah
muncul pertama kali sebagai gerakan politik
yang diperlihatkan oleh cucu Ali> ibn Abi> T}a>lib, al-Hasan
Bin Muhammad al-Halafiyah sekitar tahun 695 M. Watt, pendiri teori ini
menceritakan bahwa 20 tahun setelah
kematian Muawiyah sekitar tahun 680 M, dunia Isla>m dikoyak oleh
pertikaian sipil, yaitu al-Mukhtar membawa faham Syiah ke Kuffah dari
tahun 685-687 M. Ibn Zubaer mengklaim kekhalifahan di Makkah sehingga berada
dibawah kekuasaan Islam.[11]
Sebagai
respon dari keadaan ini maka munculah gagasan irja (penagguhan), gagasan
ini pertama kali digunakan pada tahun 695 M. oleh cucu Al>i ibn Abi> T}a>lib
dalam sebuah surat pendeknya, dalam isi surat itu al-Hasan menunjukkan sikap
politiknya dengan mengatakan: “kita mengakui Abu> Bakar dan Umar, tetapi
menangguhkan keputusan atas persoalan yang terjadi antara Us|ma>n, Ali>
dan Zubaer (seseorang tokoh pembelot ke Makkah)”. Dengan sikap politik
seperti ini al-Hasan mencoba menanggulangi perpecahan Umat Islam. Ia kemudian
menolak berdampingan dengan kelompok Syiah revolusioner yang terlampau
mengagumi Ali> dan para pengikutnya serta menjauhkan diri dari Khawarij
yang menolak mengakui kekhalifahan Muawiyah dengan alasan Muawiyah adalah
keturunan si pendosa Us|ma>n.[12]
Teori
yang ketiga, menceritakan bahwa ketika terjadi perseteruan antara Ali> dan
Muawiyah, dilakukan tahkim (arbitrase) atas usulan Amr bin Ash, seorang
kaki tangan Muawiyah. Kelompok Ali> terpecah menjadi dua kubu, yaitu yang
pro dan yang kontra. Kelompok kontra akhirnya menyatakan keluar dari Ali>,
yaitu kubu Khawarij memandang bahwa tahkim itu bertentangan dengan
al-Qur’a>n, dalam pengertian tidak bertahkim berdasarkan hukum Alla>h swt.
oleh karena itu, Khawarij berpendapat bahwa melakukan tahkim itu dosa besar dan
dihukum kafir, sama seperti perbuatan dosa besar lain, seperti zina, riba’,
membunuh tanpa alasan yang benar, durhaka kepada orang tua, serta memfitnah
wanita baik-baik. Pendapat tersebut ditentang kelompok sahabat yang kemudian
disebut Murji’ah dengan mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak
kafir,sementara dosanya diserahkan kepada Allah swt. apakah mengampuninya atau
tidak.[13]
Golongan
Murji’ah tidak mau mengkafirkan orang yang telah masuk Islam, sekalipun orang
tersebut z}alim, berbuat maksiat dan lain-lain, sebab mereka mempunyai
keyakinan bahwa perbuatan dosa sebesar apapun tidak mempengaruhi keimanan
seseorang selama orang tersebut masih muslim, kecuali bila orang tesebut telah
keluar dari Islam (Murtad) maka telah berhukum kafir. Aliran Murji’ah
juga menganggap bahwa orang yang lahirnya terlihat atau menampakkan kekufuran,
namun bila batinnya tidak, maka orang tersebut tidak dapat dihukum kafir, sebab
penilaian kafir atau tidaknya seseorang itu tidak dilihat dari segi lahirnya,
namun bergantung pada batinnya. Sebab ketentuan ada pada i’tiqad
seseorang dan bukan segi lahiriyahnya.[14]
Aliran
Murji’ah ini muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam
upaya kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana
hal itu dilakukan oleh aliran khawarij. Kaum Murji’ah muncul adanya
pertentangan politik dalam Islam. Dalam suasana demikian, kaum Murji’ah muncul
dengan gaya dan corak tersendiri. Mereka bersikap netral, tidak berkomentar
dalam praktek kafir atau tidak bagi golongan yang bertentangan. Mereka
menangguhkan penilaian terhadap orang–orang yang terlibat dalam peristiwa
tahkim itu dihadapan Tuhan, karena Tuhan-lah yang mengetahui keadaan iman
seseorang. Demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar itu dianggap
mukmin dihadapan mereka. Orang mukmin yang melakukan dosa besar itu dianggap
tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya.
Dengan kata lain bahwa orang mukmin sekalipun melakukan dosa besar masih tetap
mengucapkan dua kali masyahadat yang menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena
itu orang tersebut masih tetap mukmin, bukan kafir. Alasan Murji’ah menganggapnya tetap mukmin, sebab orang Islam
yang berbuat dosa besar tetap mengakui bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan
Nabi Muhammad adalah Rasul-Nya.
C.
Pokok-pokok
Ajaran Murji’ah
Ajaran
pokok Murji’ah pada dasarnya bersumber pada gagasan atau doktrin
irja atau arja’a yang diaplikasikan dalam banyak persoalan, baik
persoalan politik maupun persoalan teologis. Di dalam politik doktrin Irja
diimplementasikan dengan sikap politik netral dan nonblok yang selalu diekspresikan dengan
sikap diam, itulah sebabnya Murji’ah dikenal sebagai The Quietists
(kelompok bungkam), sikap ini akhirnya berimplikasi sangat jauh sehingga
membuat Murji’ah selalu diam dalam persoalan politik.
Adapun
dibidang teologi, doktrin Irja dikembangkan Murj’iah ketika
menanggapi persoalan-persoalan yang ditanggapinya semakin komplek sehingga
mencakup iman, kufur, dosa besar dan ringan, dan pengampunan atas dosa besar.
Berkaitan
dengan doktrin Murji’ah, W. Montgomeri Watt merincikan sebagai berikut :
a.
Penangguhan keputusan
terhadap Ali> dan Muawiyah sehingga Allah memutuskan nanti kelak di Akhirat.
b.
Menangguhkan Ali> untuk
menduduki ranking keempat dalam peringkat al-khulafa> al-Ra>syidu>n.
c.
Memberi harapan terhadap orang
muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
d.
Doktrin-doktrin Murji’ah
menyerupai pengajaran para spektis dan empiris dari kalangan Helenis. [15]
Masih
berkaitan dengan doktrin teologi Murji’ah, Harun Nasution menyebutkan empat
ajaran pokoknya yaitu:
a.
Menunda hukuman atas Ali>,
Muawiyah, Amr Bin Ash, dan Abu Musa yang terlibat tahkim dan menyerahkan kepada
Alla>h di hari kiamat nanti.
b.
Menyerahkan keputusan kepada
Allah atas orang Muslim yang berdosa besar.
c.
Meletakan pentingnya iman
dari pada Amal.
d.
Memberikan pengharapan kepada
muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah. [16]
Sementara
Abu> A’la al-Maududi mengatakan dua doktrin ajaran Murji’ah yaitu:
a.
Iman adalah percaya kepada
Allah dan Rasul-Nya saja, adapun adanya perbuatan tidak merupakan suatu
keharusan bagi adanya Iman. Berdasarkan hal ini, seorang tetaplah mukmin
walaupun meninggalkan perbuatan yang difardukan dan melakukan dosa besar.
b.
Dasar keselamatan adalah Iman
semata. Selama masih ada Iman di hati maksiat tidak mendatangkan mudarat
ataupun gangguan atas seseorang. Untuk mendapatkan pengampunan manusia, manusia
cukup menjauhkan dari syirik dan mati dalam akidah tauhid. [17]
D. Sekte-sekte Al-Murji’ah
Munculnya
aliran al-Murji’ah sangat menguntungkan bagi tegaknya Bani Umayyah. Dengan alasan
bahwa bagi orang mukmin yang berdosa besar, tidak menyebabkan kafir, memberikan
peluang bagi para penguasa untuk tidak berkecil hati terhadap
perbuatan-perbuatan dosanya. Di sisi lain mereka tidak merasa dibenci atau
dikucilkan oleh masyarakat karena telah memiliki landasan keagamaan yang kuat,
yaitu dasar-dasar teologis yang dicetuskan oleh kaum Murji’ah.[18]
Secara
politis, berarti penguasa Bani Umayyah tidak putus kedudukannya sebagai anggota
masyarakat karena melakukan sesuatu yang oleh sementara orang Islam dianggap
dosa. Konsekuensinya pendapat demikian ialah bahwa pemberontakan terhadap Bani
Umayyah tidak sah menurut hukum. Dengan demikian, maka kaum Murji’ah merupakan
golongan pertama dan utama yang mendukung Bani Umayyah atas dasar agama.[19]
Dengan
topangan dan lindungan penguasa Bani Umayyah yang memadai, berkembanglah paham
Murji’ah dan bermuncullah tokoh-tokoh mutakallimin yang mempunyai corak
pemikiran yang berbeda satu sama lain. Hal ini mendorong lahirnya sekte-sekte
yang jumlahnya tidak begitu jelas karena masing-masing para ahli berbeda
pendapatnya. Menurut al-Baghdadi dalam bukunya M. Nurdin dan Afifi membagi
mereka ke dalam tiga golongan, yaitu al-Murji’ah yang dipengaruhi ajaran
al-Jabariyah, al-Murji’ah yang dipengaruhi ajaran al-Qadariyah, dan al-Murji’ah
yang tidak dipengaruhi oleh keduanya. Sedangkan al-Syahrastani membaginya
menjadi tiga sekte, yaitu al-Murji’ah al-Khawarij, al-Murji’ah al-Jabariyah,
dan al-Murji’ah asli.[20]
Harun
Nasution secara garis besar mengklasifikasikan Murji’ah menjadi dua sekte yaitu
golongan moderat dan golongan ekstrim. Murji’ah moderat disebut juga al-Murji’ah
al-Sunnah yang pada umumnya terdiri dari fuqaha> dan muhaddis|i>n. mereka
berpendapat bahwa pendosa besar tetap mukmin., tidak kafir,tidak pula kekal di
dalam Neraka. Mereka disiksa sebesar dosanya, dan bila dia di ampuni oleh Allah
maka dia tidak masuk neraka sama sekali. Mereka dihukum di neraka sesuai dengan
dosa yang diperbuatnya, ini menunjukkan kaum Murji’ah moderat masih mengakui
keberadaan amal perbuatan. Dengan kata lain, mereka masih mengakui pentingnya
amal perbuatan manusia, meskipun bukan merupakan bagian dari iman. Penggegas
pendirian ini adalah al-Hasan bin Muhammad, Ali> bin Abi> T}alib, Abu
Hanifah, Abu Yusuf, dan beberapa Ahli Hadis| dan fuqaha. Dalam
hubungan dengan hal ini, Abu Hanifah memberi definisi iman sebagai berikut: iman
adalah pengetahuan dan pengakuan tentang Tuhan dan Rasul-Rasul-Nya serta apa
yang datang darinya secara keseluruhan dan tidak dalam perincian. Iman ini tidak bertambah dan tidak pula berkurang,
tak ada perbedaan manusia dalam hal iman.[21]
Sedangkan
golongan al-Murji’ah yang ekstrim adalah mereka yang secara berlebihan
mengadakan pemisahan antara iman dan amal perbuatan. Mereka menghargai iman
terlalu berlebihan dan merendahkan fungsi amal perbuatan tanpa perhitungan sama
sekali. Amal perbuatan tidak ada pengaruhnya terhadap iman. Iman itu hanya
berkaitan dengan Tuhan dan hanya Tuhan yang mengetahuinya. Oleh karena itu,
selagi seseorang beriman, perbuatan apapun tidak dapat merusak imannya sehingga
tidak akan menyebabkan kafirnya seseorang.[22]
Adapun yang termasuk golongan al-Murji’ah ekstrem,
diantaranya sebagai berikut:
1. Al-Yu>nusiyyah
Adalah kelompok yang mengikuti ajaran Yu>nus ibn Aun
al-Numairi, menurut Yu>nus, melakukan maksiat atau pekerjaan-pekerjaan jahat
tidaklah merusak i>ma>n seseorang.[23]
2. Al-Ubaidiyyah
Kelompok ini adalah kelompok yang mengikuti ajaran
Ubaid al-Mukta'ib, berpendapat bahwa jika seorang mati dalam keadaan iman,
dosa-dosa, dan perbuatan jahat yang dikerjakannya tidak akan merugikan bagi
yang bersangkutan. Ditegaskan pula oleh Muqatil bin Sulaiman bahwa perbuatan
jahat banyak atau sedikit, tidak akan merusak iman seseorang, dan sebaliknya
pula perbuatan baik tidak akan merubah kedudukan seorang musyrik atau polities.
[24]
3. Al-Ghassaniyyah
Kelompok ini adalah mereka yang mengikuti ajaran Ghassan
al-Kuffi. Menurut Ghassan, iman adalah pengetahuan (makrifat), kepada Allah dan
Rasul-Nya, mengakui dengan lisan akan kebenaran yang diturunkan oleh Allah,
namun secara global, tidak perlu secara rinci. I>man, menurutnya bersifat
statis (tidak bertambah dan tidak berkurang).[25]
4. Al-Jahmiyah
Golongan al-Jahmiyah adalah para pengikut Jahm bin S}afwan.
Mereka berpendapat bahwa orang Isla>m yang percaya kepada Tuhan tidak akan
menjadi kafir meskipun menyatakan kekufuran secara lisan karena iman dan kufur
letaknya dalam hati bukan dalam bagian tubuh yang lain dalam tubuh manusia.
Bahkan orang demikian juga tidak menjadi kafir meskipun dia menyembah berhala,
menjalankan ajaran Yahudi atau Kristen dengan menyembah salib, menyatakan
dirinya penganut paham trinitas, dan kemudian mati. Di mata Tuhan orang seperti
itu tetap mukmin yang sempurna imannya.[26]
5. Al-Hasaniyah
Al-Hasaniyah menyebutkan bahwa jika seorang
mengatakan, “saya tahu Tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah
babi yang diharamkan itu adalah kambing ini,” orang tersebut tetap mukmin,
bukan kafir. Begitu pula orang yang mengatakan, “saya tahu Tuhan mewajibkan
naik haji ke ka’bah, tetapi saya tidak tahu apakah ka’bah di India atau di
tempat lain”.[27]
6. Al-S}alihiyyah
Kelompok yang mengikuti ajaran Abu al-Hasan al-S{alihi.
Menurut al-s}alihi iman adalah semata-mata pengenalan kepada Allah dan mengakui
kepada Allah sebagai pencipta alam semesta. Sedangkan kekafiran adalah
ketidaktahuan (jahil) terhadap Allah. Dalam pengertian mereka s}ala>t
tidaklah merupakan ibadat kepada Allah, karena yang disebut ibadah adalah iman
kepada-Nya dalam arti mengetahui Tuhan. Lebih lanjut al-Bagdadi menjelaskan
bahwa dalam pendapat al-S}alihiah , s}alat, puasa, z|akat dan haji hanya
menggambarkan kepatuhan dan tidak merupakan ibadah kepada Allah, yang disebut
ibadah hanyalah iman.[28]
Menyikapi ajaran
Murji’ah yang ekstrim itu, menurut Harun Nasution ada bahayanya karena dapat
membawa pada moral latitude, sikap memperlemah ikatan moral masyarakat
yang bersifat permissive, masyarakat yang dapat mentolelir penyimpangan
dari norma-norma akhlak yang berlaku. Karena yang dipentingkan hanyalah iman,
norma akhlak bisa dipandang kurang penting dan diabaikan oleh orang-orang yang
menganut faham demikian. Oleh karena itu, nama Murji’ah pada akhirnya
mengandung arti tidak baik dan tidak disenangi oleh mayoritas umat islam.[29]
Pendapat-pendapat ekstrem yang telah dikemukakan di
atas timbul dari pengertian bahwa amal perbuatan tidak sepenting iman. Kemudian
meningkat pada pemahaman bahwa hanya imanlah yang penting dan yang menentukan
mukmin atau kafir. Iman letaknya di hati dan tidak bisa dipengaruhi oleh amal
perbuatan manusia, dengan demikian perbuatan dosa dan kemaksiatan tidak
mempengaruhi iman seseorang, bahkan ucapan maupun perbuatan yang dilakukan
manusia bagaimanapun bentuknya tidak merusak iman.
[1]Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir
Kamus Arab-Indonesia, (Cet. XIV; Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h.
480.
[2] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu
Kalam, (Cet. III; Bandung: Pustaka Setia, 2014), h. 70.
[3]Amin Nurdin dan Afifi Fauzi
Abbas, Sejarah Pemikiran Islam (Teologi Ilmu Kalam), (Cet. II; Jakarta:
Amzah, 2014), h. 24.
[4]Harun Nasution, Teologi Islam:
Aliran-aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 2013), h.
26.
[5]Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahannya, (Bandung: Syam Al-Qur’an, 2009), h. 203.
[6]Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam,
Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994) h. 303.
[7]W. Montgomery Watt,Teology and Philosophy diterjemahkan
oleh Umar Basalim dengan judul Pemikiran
Teologi dan Filsafat islam (Cet. !; Jakarta: P3M, 1987),h. 42
[9]Ahman Amin, Duha Al-Islam, juz
III (cet. VIII, tt.d),h. 280.
[10] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam,
h. 71.
[11]
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam,
h. 71.
[12]Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam,
h. 71.
[13]Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam,
h. 72.
[14]M. Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah
Pemikiran Islam, h. 26.
[15]Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam,
h. 73.
[16]Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran,
Sejarah Analisa Perbadingan, h. 27.
[17]Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam,
h. 73.
[18]M. Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah
Pemikiran Islam, h. 27.
[19]
W. Montgomery Watt,Teology
and Philosophy diterjemahkan oleh Umar Basalim dengan judul Pemikiran Teologi dan Filsafat islam, h.
42
[20]M. Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah
Pemikiran Islam, h. 27.
[21]Harun Nasution, Teologi Islam:
Aliran-aliran,Sejarah Analisa Perbandingan, h. 26-27.
[22]M. Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah
Pemikiran Islam, h. 28-29.
[23]Harun Nasution, Teologi
Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, h. 28.
[24]Harun Nasution, Teologi
Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, h. 26.
[25]M. Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah
Pemikiran Islam, h. 30.
[26]Harun Nasution, Teologi
Islam: Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan,
h. 28.
[27]Harun Nasution, Teologi
Islam: Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, h. 29.
[28]Harun Nasution, Teologi
Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 28.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
pembahasan di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1.
Al-Murji’ah
artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa,
yaitu Ali dan Muawiyah serta pasukannya pada hari kiamat kelak.
2.
Ada beberapa
teori yang berkembang mengenai asal-usul kemunculan Murji’ah. Teori pertama
mengatakan bahwa gagasan irja’ atau arja’a dikembangkan oleh
sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Isla>m
ketika terjadi pertikaian politik dan untuk menghindari sektarianisme. Teori
lain mengatakan bahwa gagasan irja’ yang merupakan basis doktrin
Murji’ah muncul pertama kali sebagai gerakan politik yang diperlihatkan oleh
cucu Ali> bin Abi> T}a>lib, al-Hasan bin Muhammad al-Hanafiyah,
sekitar tahun 695. Teori lain menceritakan bahwa ketika terjadi perseteruan
antara Ali dan Muawiyah, dilakukan tahkim (arbitrase) atas usulan Amr bin Ash,
seorang kaki tangan Muawiyah. Kelompok Ali terpecah menjadi dua kubu, yaitu
yang pro dan yang kontra. Kelompok kontra akhirnya menyatakan keluar dari Ali,
yaitu kubu khawarij memandang bahwa tahkim itu bertentangan dengan al-Qur’a>n,
dalam pengertian tidak bertahkim berdasarkan hukum Allah swt., oleh karena itu,
Khawarij berpendapat bahwa melakukan tahkim itu dosa besar dan dihukum kafir,
sama seperti perbuatan dosa besar lain, seperti zina, riba’, membunuh tanpa
alasan yang benar, durhaka kepada orang tua, serta memfitnah wanita baik-baik.
Pendapat tersebut ditentang kelompok sahabat yang kemudian disebut Murji’ah
dengan mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, sementara
dosanya diserahkan kepada Allah swt. apakah mengampuninya atau tidak.
3.
Doktri-doktrin
pokok Murji’ah
a.
Penangguhan
keputusan terhadap Ali> dan Muawiyah hingga Allah swt. memutuskannya di
akhirat kelak.
b.
Penangguhan Ali>
untuk menduduki ranking keempat dalam peringkat al-Khulafa>’ al-Ra>syidu>n.
c.
Pemberian
harapan (giving of hope) terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk
memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah swt.
d.
Doktrin-doktrin
Murji’ah menyerupai pengajaran (mazhab) para skeptic dan empiris dari kalangan
helenis.
4.
Sekte-sekte
Murji’ah
Golongan
Murji’ah ada yang moderat dan ada yang ekstrim.
Golongan
Murji’ah yang moderat berpendapat bahwa pendosa besar tetap mukmin.,
tidak kafir, tidak pula kekal di dalam Neraka. Mereka disiksa sebesar dosanya,
dan bila dia diampuni oleh Allah maka dia tidak masuk neraka sama sekali.
Mereka dihukum di neraka sesuai dengan dosa yang diperbuatnya, ini menunjukkan
kaum Murji’ah moderat masih mengakui keberadaan amal perbuatan. Dengan kata
lain, mereka masih mengakui pentingnya amal perbuatan manusia, meskipun bukan
merupakan bagian dari iman.
Dan golongan
al-Murji’ah yang ekstrim adalah mereka yang secara berlebihan mengadakan pemisahan
antara iman dan amal perbuatan. Mereka menghargai iman terlalu berlebihan dan
merendahkan fungsi amal perbuatan tanpa perhitungan sama sekali. Amal perbuatan
tidak ada pengaruhnya terhadap iman. Iman itu hanya berkaitan dengan Tuhan dan
hanya Tuhan yang mengetahuinya. Oleh karena itu, selagi seseorang beriman,
perbuatan apapun tidak dapat merusak i>ma>nnya sehingga tidak akan
menyebabkan kafirnya seseorang
B.
Saran-saran
Di dalam
penulisan makalah ini, penulis sangat menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan
yang sempat terselip pada setiap lembaran didalamnya. Untuk itu, penulis
berharap agar para pembaca secara terbuka dapat memberikan masukan dan kritikan
serta-merta sebagai perbaikan dan penyempurnaan makalah ini kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
Al-Karim
Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: Syam al-Qur’an, 2009.
Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
Hasymy,
A., Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta: Bulan Bintang 1979), H.188
Munawwir,
Ahmad Warson, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Cet. XIV; Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997.
Nasution,
Harun, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta:
UI-Press, 2013.
Nurdin,
Amin dan Abbas, Afifi Fauzi, Sejarah Pemikiran Islam (Teologi Ilmu Kalam),
Cet. II; Jakarta: Amzah, 2014.
Rozak,
Abdul dan Anwar, Rosihon, Ilmu Kalam, Cet. III; Bandung: Pustaka Setia,
2014.
Watt, W.
Montgomery,Teology and Philosophy diterjemahkan oleh Umar Basalim dengan
judul Pemikiran Teologi dan Filsafat
islam Cet. I; Jakarta: P3M, 1987.
[29]Harun Nasution, Teologi
Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 28.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar