BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di era posmodernisme ini pembahasan
mengenai “agama” kembali muncul ke permukaan. Bahkan, agama menjadi sorotan
utama (objek kajian yang paling diminati) oleh berbagai peneliti di berbagai
belahan dunia. Hal itu karena eksistensi agama yang dahulu diprediksi akan
tergilas oleh kekuatan ideologi dan kemajuan ilmu pengetahuan, justru semakin
bersinar terang.
Fenomena
ini pada akhirnya mendorong penelitian ilmiah terhadap agama. Pendekatan
terhadap agama mengalami perkembangan signifikan. Hal tersebut diindikasikan
dengan pendekatan terhadap agama yang tidak hanya memusatkan pada aspek
teologis, tapi merambah pada disiplin ilmu-ilmu humaniora lainnya.
Mukti Ali, mengatakan bahwa kita bisa
meneliti agama, termasuk Islam. Dengan kata lain, agama dapat dijadikan objek
kajian (penelitian). Ada lima bentuk gejala agama yang perlu diperhatikan kalau
kita hendak mempelajari suatu agama, termasuk Islam. Pertama, scripture atau
naskah-naskah (sumber ajaran) dan simbol-simbol agama. Kedua, para penganut atau pemimpin atau pemuka agama, yakni sikap,
perilaku dan penghayatan para penganutnya. Ketiga,
ritus-ritus, lembaga-lembaga dan ibadat-ibadat, seperti shalat, haji, puasa,
perkawinan, dan waris. Keempat,
alat-alat, seperti, masjid, gereja, peci, loceng, dan lainnya. Kelima, kelompok-kelompok atau
organisasi-organisasi keagamaan, seperti Nahdatul Ulama, Katolik, Protestan,
Muhammadiyah, Sunni, Syi’ah, dan lain-lain.
Oleh karena itu, penelitian keagamaan dapat mengambil salah satu dari lima
bentuk gejala ini.
Pada
makalah ini, penulis berencana mengangkat “pendekatan Filosofis, pendekatan
Historis dan pendekatan psikologis” dalam studi agama. Adapun latar belakang
kami memilih tema ini adalah karena pendekatan-pendekatan tersebut merupakan
pendekatan yang paling esensial dalam mendekati agama. Tulisan ini coba melihat
bagaimana pendekatan psikologis, pendekatan historis dan pendekatan psikologis
ini diterapkan dalam studi tentang agama. Bagaimanakah metodologi yang
digunakan dalam studi itu dan bagaimana hasil yang nantinya didapatkan.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, maka penulis membuat
suatu permasalahan pokok yaitu:
1.
Bagaimana pemahaman agama
bila dilihat dari pendekatan filosofis?
2.
Bagaimana pemahaman agama
bila dilihat dari pendekatan psikologis?
3.
Bagaimana pemahaman agama
bila dilihat dari pendekatan historis?
C.
Tujuan
Adapun tujuan
dari penulisan makalah ini adalah:
1.
Untuk mengetahui pemahaman
agama dengan pendekatan filosofis.
2.
Untuk mengetahui pemahaman
agama dengan pendekatan psikologis.
3.
Untuk mengetahui pemahaman
agama dengan pendekatan historis.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendekatan Filosofi dalam Memahami Agama
Kata filsafat berasal dari
bahasa Yunani, philosophia, yang terdiri atas dua kata: philos (cinta)
atau philia (persahabatan, tertarik kepada) dan shopia (hikmah,
kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi). Jadi secara etimologi,
filsafat berarti mencintai kebijaksanaan atau kebenaran. Plato menyebut Socrates sebagai philosophos
(filosof) dalam pengertian
pencinta kebijaksanaan. Kata falsafah merupakan arabisasi yang berarti pencarian yang dilakukan oleh para
filosof. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata filsafat menunjukkan
pengertian yang dimaksud, yaitu pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi
mengenai hakikat segala yang ada, sebab asal dan hukumnya. Manusia
filosofis adalah manusia yang memiliki kesadaran diri dan akal sebagaimana ia juga memiliki jiwa yang
independen dan bersifat spiritual. Dan
dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, Poerwadarminta mengartikan filsafat
sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab,
asas-asas, hukum dan sebagainya terhadap segala yang ada di alam semesta
ataupun mengenai kebenaran arti “adanya” sesuatu.
Pengertian filsafat yang umumnya digunakan adalah pendapat yang dikemukakan
oleh Sidi Gazalba. Menurutnya, filsafat adalah berpikir secara mendalam,
sistematik, radikal dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah
atau hakikat mengenai segala sesuatu
yang ada.
Dan menurut Rene Descartes, yang dikenal sebagai “Bapak Filsafat Modern”,
filsafat baginya adalah merupakan kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan,
alam dan manusia menjadi pokok penyelidikan.
Selanjutnya
menurut Harun Nasution dalam bukunya Zuhairini Fisafat Pendidikan Islam,
filsafat berasal dari kata Yunani yang tersusun dari dua kata philein dalam
arti cinta dan sophos dalam arti hikmat (wisdom).
Orang Arab memindahkan kata Yunani philosophia ke dalam bahasa mereka dengan
menyesuaikannya dengan tabi’at susunan kata-kata arab, yaitu Falsafa dengan
pola fa’lala, fa’lalah dan filal. Menurut Harun Nasution, bahwa kata benda dari
falsafa adalah falsafah dan filsaf. Dengan demikian Harun Nasution berpendapat
bahwa intisari filsafat ialah “berfikir menurut tata tertib (logika) dengan
bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma serta agama) dan dengan
sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasar-dasar persoalannya.
Dari
berbagai definisi di atas, dapat diketahui bahwa filsafat pada dasarnya adalah
pertanyaan atas segala hal yang “ada”. Pertanyaan akan muncul tentu dengan
berpikir, berpikir pasti menggunakan akal. Dan filsafat juga bisa dikatakan
sebagai upaya menjelaskan inti, hakikat atau hikmah mengenai segala sesuatu
yang ada dengan memanfaatkan atau memberdayakan secara penuh akal budi manusia
yang telah dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Berpikir
secara filosofis tersebut selanjutnya dapat digunakan dalam memahami ajaran
agama, dengan maksud agar hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama dapat
dimengerti dan dipahami secara seksama. Pendekatan filosofis yang demikian
sebenarnya sudah banyak digunakan oleh para ahli. Misalnya dalam buku berjudul Hikmah
Al-Tasyri’ wa Falsafatuhu yang ditulis oleh Muhammad Al-Jurjawi, di dalam
buku tersebut ia berusaha mengungkapkan hikmah yang terdapat di balik
ajaran-ajaran agama Islam.
Ajaran agama dalam mengajarkan agar shalat berjamaah. Tujuannya antara lain
agar seseorang merasakan hikmahnya hidup secara berdampingan dengan orang lain.
Dengan mengerjakan puasa misalnya agar seseorang dapat merasakan lapar dan
menimbulkan rasa iba kepada sesamanya yang hidup serba kekurangan, dan berbagai
contoh lainnya.
Dalam
Islam ada dua inti dari segala sesuatu yakni sesuatu yang bersifat Ke-Tuhanan
(Ilahi), yang bersumber dari al-Qur’an, Hadits dan berbagai Kitab Allah lainnya.
Ia bersifat muthlak. Dan yang kedua adalah yang bersifat kemanusiaan (insani),
berbentuk fiqh atau pemahaman manusia, kesan di otak manusia yang muncul dari
berbagai teks yang dia baca dan alami (pengalaman) atau latar belakang
pendidikan, ekonomi, sosial, psikologi dan lain sebagainya.
Filsafat
sebagai salah satu bentuk metodologi pendekatan keilmuan, sama
halnya dengan cabang keilmuan yang lain.
Sering kali dikaburkan dan dirancukan dengan paham atau aliran-aliran filsafat
tertentu seperti rasionalisme, eksistensialisme, pragmatisme, dan lain-lain.
Ada perbedaan antara kedua wilayah tersebut, bahwasanya wilayah pertama
bersifat keilmuan, open-ended, terbuka dan dinamis. Sedangkan wilayah
kedua bersifat ideologis, tertutup dan statis. Yang pertama bersifat inklusif
(seperti sifat pure sciences), tidak bersekat-sekat dan tidak
terkotak-kotak, sedang yang kedua bersifat ekslusif (seperti halnya applied
sciences), seolah-olah terkotak-kotak dan tersekat-sekat oleh perbedaan
tradisi, kultur, latar belakang pergumulan sosial dan bahasa.
Siapa pun yang bergerak pada wilayah “applied sciences” pada dasarnya harus
dibekali persoalan-persoalan dasar yang digeluti oleh “pure sciences”,
sedang yang bergerak pada wilayah “pure sciences”, tidak harus tahu dan
menjadi expert pada setiap wilayah “applied sciences”.
Cara berpikir dan pendekatan kefilsafatan yang pertama, yakni yang bersifat
keilmuan, open-ended, terbuka, dinamis dan inklusif yang tepat dan cocok
untuk diapreasiasi dan diangkat kembali ke permukaan kajian keilmuan.
Filsafat
sebagai pendekatan keilmuan setidaknya ditandai antara lain dengan tiga ciri.
(1)
Kajian, telaah dan penelitian filsafat selalu terarah kepada pencarian atau
perumusan ide-ide dasar atau gagasan
yang bersifat mendasar-fundamental (fundamental ideas) terhadap
objek persoalan yang dikaji. Ide atau pemikiran fundamental biasanya diterjemahkan
dengan istilah teknis kefilsafatan sebagai “al-falsafatu al-ula”,
substansi, hakekat atau esensi.
Pemikiran fundamental biasanya bersifat umum (general), mendasar dan
abstrak.
(2)
Pengenalan, pendalaman persoalan-persoalan dan isu-isu fundamental dapat
membentuk cara berpikir kritis (critical thought). Dan (3) Kajian dan
pendekatan falsafati yang bersifat seperti dua hal diatas, akan dapat membentuk
mentalitas, cara berpikir dan kepribadian yang mengutamakan kebebasan
intelektual (intellectual freedom), sekaligus mempunyai sikap toleran
terhadap berbagai pandangan dan kepercayaan yang berbeda serta terbebas dari
dogmatisme dan fanatisme.
Kegiatan
berfilsafat menurut Louis O. Kattsoff adalah kegiatan berpikir secara:
1.
Mendalam: dilakukan
sedemikian rupa hingga dicari sampai ke batas akal tidak sanggup lagi.
2.
Radikal: sampai ke
akar-akar nya sehingga tidak ada lagi yang tersisa.
3.
Sistematik: dilakukan
secara teratur dengan menggunakan metode berpikir tertentu.
4.
Universal: tidak dibatasi
hanya pada satu kepentingan kelompok tertentu, tetapi menyeluruh.
Filsafat
dalam segala usahanya untuk mengetahui berbagai hakikat dari segala sesuatu,
begitu pula ketika ia dipakai dalam mengkaji Islam, tidak selalu mencapai hasil
yang maksimal, yang terpenting adalah upaya (memanfaatkan hasil usaha), yang
akan membuat suatu perubahan ke arah yang lebih baik lagi atau kemajuan.
Manfaat
yang bisa didapat ketika seseorang menggunakan pendekatan filosofis dalam
kajiannya adalah sebagai berikut:
a.
Agar hikmah, hakikat atau
inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara seksama.
b.
Setiap individu dapat
memberi makna terhadap segala sesuatu yang dijumpainya dan mengambil hikmah
sehingga ketika melakukan ibadah atau apa pun, ia tidak mengalami degradasi
spriritualitas yang menimbulkan kebosanan.
c.
Membentuk pribadi yang selalu berpikir
kritis (critical thought).
d.
Adanya kebebasan
intelektual (intellectual freedom).
e.
Membentuk pribadi yang selalu toleran.
B.
Pendekatan
Psikologi dalam Memahami Agama
Psikologi
atau ilmu jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala
perilaku yang dapat diamatinya. Menurut Zakiyah Drajat, perilaku seseorang yang
tampak lahiriah terjadi karena dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya.
Seseorang ketika berjumpa saling mengucapkan salam, hormat kepada kedua orang
tua, kepada guru, menutup aurat, rela berkorban untuk kebenaran, dan
sebagainya. Ini semua merupakan gejala-gejala keagamaan yang dapat dijelaskan
melalui ilmu jiwa agama. Ilmu jiwa agama
tidak akan mempersoalkan benar tidaknya suatu agama yang dianut
seseorang, melainkan yang dipentingkan adalah bagaimana keyakinan agama
tersebut terlihat pengaruhnya dalam perilaku penganutnya.
Dalam
ajaran agama banyak kita jumpai istilah-istilah yang menggambarkan sikap batin
seseorang. Misalnya sikap beriman dan bertakwa kepada Allah, sebagai orang yang
saleh, orang yang berbuat baik, orang yang sadiq dan sebagainya. Semua itu
adalah gela-gejala kejiwaan yang berkaitan dengan agama.
Dengan
ilmu jiwa ini seseorang selain akan mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati,
dipahami dan diamalkan seseorang juga dapat digunakan sebagai alat untuk
memasukkan agama ke dalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkatan usianya.
Dengan ilmu ini agama akan menemukan cara yang tepat dan cocok untuk
menanamkannya. Misalnya, kita dapat mengetahui pengaruh dari shalat, puasa,
zakat, haji, dan ibadah lainnya dengan melalui ilmu jiwa. Dengan pengetahuan
ini, maka dapat disusun langkah-langkah baru yang lebih efisien lagi dalam
menanamkan ajaran agama. Itulah sebabnya ilmu jiwa ini banyak digunakan sebagai
alat untuk menjelaskan gejala atau sikap keagamaan seseorang.
Dari
uraian tersebut, kita melihat ternyata agama dapat dipahami melalui berbagai
pendekatan. Dengan pendekatan ini semua orang akan sampai pada pemahaman agama
yang benar. Di sini kita melihat bahwa agama bukan hanya monopoli kalangan
teolog dan normative belaka, melainkan agama dapat dipahami semua orang sesuai
dengan pendekatan dan kesanggupan yang dimilikinya. Dari keadaan demikian
seseorang akan memiliki kepuasan dari agama karena seluruh persoalan hidupnya
mendapat bimbingan dari agama.
Berangkat
dari berbagai mahzab pemikiran masing-masing dan dengan menggunakan berbagai
metode pendekatan maka para ahli di bidang psikologi juga menerapkannya untuk
studi terhadap agama. Penelitian di bidang psikologi agama ini diawali dengan
William James dengan karya besarnya The Varieties of Religious Experience
yang kemudian diikuti dengan karya-karya para ahli lain dengan berbagai pendekatan
dan kesimpulannya.
William
James membedakan dua bentuk agama yaitu agama institusional (institutional
religion) dan agama personal (personal religion).
Yang pertama mengacu pada kelompok-kelompok keagamaan yang berperan penting
dalam kebudayaan masyarakat, yang kedua adalah mengacu pada pengalaman mistis
seseorang yang bersifat individual.
Agama
personal dibedakan olehnya menjadi dua kategori yaitu agama pikiran yang sehat
(healthy minded religiousness ) dan agama jiwa yang sakit (sick
souled religiousness). Yang pertama berpusat pada hal-hal yang positif dan
kebaikan sedangkan hal sebaliknya pada yang kedua lebih memperhatikan masalah
kejahatan dan penderitaan
C. Pendekatan Historis dalam Memahami Agama
Sejarah
atau historis adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa
dengan memperhatikan unsure tempat, waktu, objek, latar belakang, dan pelaku
dari peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini, segala peristiwa dapat dilacak
dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, di mana, apa sebabnya, siapa yang
terlibat dalam peristiwa tersebut.
Melalui
pendekatan sejarah seseorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang
bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya
kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan
yang ada di alam empiris dan historis.
Pendekatan
kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena agama itu sendiri
turun dalam situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi social
kemasyarakatan.
DAFTAR
PUSTAKA